Dari definisi di atas, bagi mereka yang memiliki darah Indonesia alias anak dari kawin campur, mereka termasuk WNI sebagaimana diatur dalam aturan yang berlaku.Â
Hanya saja, anak yang lahir dari kawin campur akan memiliki kewarganegaraan ganda secara terbatas. Mengapa terbatas? Hal itu karena pada usia 18 tahun harus memilih salah satu kewarganegaraan saja.Â
Sebetulnya, dari Pasal 4 di atas sudah jelas arah program naturalisasi yang diusung oleh STY. Empat pemain yang diinginkan oleh STY memiliki darah Indonesia.Â
Jadi, bisa saya katakan apa yang menjadi fokus naturalisasi saat ini tidak lebih sebagai upaya untuk menasionalismekan pemain keturunan Indonesia. Upaya tersebut diwujudkan ke dalam sepak bola.Â
Selain itu, empat pemain yang diincar oleh STY bermain di luar negeri yang mana secara level kompetisi jauh lebih bagus dari kompetisi lokal.Â
Inilah perbedaan naturalisasi di era STY dan naturalisasi pada era sebelumnya. Naturalisasi saat itu ialah mereka yang murni tidak memiliki darah Indonesia dan bermain di liga Indonesia.Â
Maka tidak heran jika pemain asing yang membela Indonesia adalah pemain yang tidak terpakai oleh negara asalnya. Jika pemain asing tersebut bagus, tentu negara asalnya akan memakai jasanya.Â
Untuk itu, kata naturalisasi bagi saya layak disematkan pada bangsa asing yang menjadi WNI. Hal itu juga dijelaskan di dalam UU Kewarganegaraan.
Pasal 1 menyebut bahwa pewarganegaraan alias naturalisasi adalah tata cara orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Syarat untuk mendapatkannya tidak mudah.Â
Di antaranya mereka (orang asing) yang ingin menjadi WNI harus tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut.
Akan tetapi, bagi pemain yang memiliki darah Indonesia bagi saya tidak tepat jika harus disebut naturalisasi. Saya lebih senang menyebutnya dengan frasa menasionlismekan.Â