Dengan cepat manusia mengeksploitasi lingkungan. Perburuan satwa liar sampai saat ini masih berlangsung. Populasi manusia yang terus meningkat membuat perburuan satwa liar meningkat pula.Â
Hal ini mendorong beberapa spesies hewan harus berevolusi jauh lebih cepat dari biasanya. Hal itu jelas karena campur tangan si manusia. Fenomena ini bisa kita lihat di sabana Afrika di Taman Nasional Gorongosa, Mozambik.
Untuk tetap bertahan hidup, banyak gajah di sabana Afrika yang lahir tanpa gading setelah perang saudara di Mozambik yang terjadi pada tahun 1977-1992.
Selama perang tersebut, gajah sabana Afrika diburu secara membabi buta. Gading gajah afrika dikenal mahal, hal itu dimanfaatkan untuk biaya selama perang berlangsung.
Selain gadingnya, daging gajah tersebut kemudian dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan pangan. Akibat perburuan liar tersebut, populasi gajah di sabana afrika turun drastis.
Pada tahun 1970-an, jumlah gajah di sabana afrika mencapai 2500. Akan tetapi, setalah perang usai populasi gajah menurun hingga 90 persen. Pada tahun 2000, jumlah gajah sabana afrika hanya 250 ekor.Â
Sebelum perang terjadi, sebanyak 18 persen gajah betina afrika memang tidak memiliki gading. Akan tetapi, setelah perang terjadi, 50.9 persen gajah betina di Afrika tidak mempunyai gading.Â
Dari data di atas, perbandingan gajah betina yang tidak memiliki gading lima kali lebih banyak dibanding gajah yang memiliki gading.Â
Mirisnya lagi, gajah betina tanpa gading tersebut mewariskan gen pada anaknya. Sehingga anak-anak gajah yang lahir di sabana Afrika tidak memiliki gading.
Pewarisan gen tanpa gading tersebut tak lain agar gajah bisa terus bertahan hidup. Itulah salah satu bentuk kasih sayang dari induk pada anaknya, meskipun harus membuang senjata alaminya.Â
Perlu diketahui, gajah merupakan spesies dengan tingkat kelahiran rendah. Beberapa induk gajah ada yang hamil hingga dua tahun dan hanya melahirkan satu anak gajah saja.Â