Seorang perempuan duduk di depan tungku dan tengah meniup bara api menggunakan selongsong bambu. Perempuan tersebut mengenakan pakaian tradisional Jawa, rambutnya disanggul dengan rapi.Â
Di samping perempuan (tengah) terdapat seorang anak kecil yang tengah membawa kayu bakar. Tentu saja kayu bakar tersebut menjadi bahan bakar untuk memasak.
Di ujung paling kanan, ada seroang bapak yang tengah menyemir sepatu. Si bapak memakai baju, tapi kancingnya sengaja ia buka sehingga bagian dadanya terbuka. Si bapak terlihat memakai celana putih yang dibalut dengan sarung.Â
Itulah gambaran kondisi ART yang bekerja pada orang Belanda pada tahun 1880-an. Lukisan di atas merupakan karya dari seorang Belanda bernama Josias Cornelis Rappard. Lukisan itu diselesaikan Rappard dalam kurun waktu 1880-1889.Â
Pada masa itu, biasanya orang Belanda yang mempekerjakan pribumi sebagai pembantu terdiri dari satu keluarga. Ibu bertugas di bagian dapur, misalnya memasak, mencuci, dan urusan dapur lain. Anak bertugas membantu tugas ibu.
Sedangkan tugas seorang bapak biasanya lebih berat. Misalnya mengurus kebun, urusan keamanan, kusir dokar dan tugas berat lainnya. Pada masa itu, secara keseluruhan mereka disebut dengan babu atau jongos.Â
Secara resmi, sejarah lahirnya pekerjaan ini tidak diketahui. Mungkin saja lahir setelah era perbudakan dihapus dari dunia ini. Para budak ini jelas tidak merdeka.Â
Majikan berkuasa penuh atas budak dan bebas melakukan apapun. Bahkan, jual beli budak lazim pada saat itu. Si budak harus melayani tuannya setulus hati.Â
Tidak hanya dalam urusan rumah tangga, terkadang seorang budak harus melayani majikan untuk urusan berahi. Setelah Abraham Lincoln memerangi sistem perbudakan, para budak ini merdeka dari tuannya dan bekerja diberi upah.Â
Dari sinilah profesi pembantu alias ART muncul. Orang-0rang Belanda dikenal eksklusif, seorang bujang Belanda yang hidupnya biasa mungkin saja tidak akan sanggup mempekerjakan pembantu.Â