Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ironi Penanganan Kasus Kekerasan Seksual, Viral Dulu Baru Diproses

10 Oktober 2021   19:40 Diperbarui: 10 Oktober 2021   19:52 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penghentian penyelidikan oleh polisi pada kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. | Project Multatuli via: liputan6.com

Pelecehan seksual merupakan perbuatan yang tidak bisa dibenarkan baik dari segi norma agama dan norma hukum. Dari sisi agama, orang yang melakukan perbuatan hina itu tidak mempunyai adab yang baik. 

Dari sisi norma hukum, orang yang melakukan perbuatan tersebut cacat secara etika. Pelecehan seksual dianggap sepele karena perbuatan tersebut hanya terbatas pada verbal dan nonverbal. 

Di sisi lain, tingkatan yang lebih keji dari pelecehan seksual adalah kekerasan seksual. Perbuatan itu tidak lagi berupa verbal, tapi sudah dengan tindakan bahkan dibarengi atau diancam dengan kekerasan. 

Perbuatan itu jelas tidak mencerminkan manusia sebagai makhluk beradab. Apalagi jika korban tersebut merupakan anak di bawah umur. Tentu perbuatan itu begitu keji dan tidak bermoral. 

Seorang ayah dengan tega memerkosa ketiga anaknya yang masih berumur di bawah 10 tahun. Kabarnya si ayah justru masih bebas dan berkeliaran sampai saat ini.

Kasus ini sudah beredar secara luas dan dibagikan di Project Multatuli. Setelah Project Multatuli membagikan kisah ini, media tersebut justru mengalami serangan siber. Saya akan menguraikan kronologi kasus tersebut dengan bahasa saya sendiri. 

Lidya (bukan nama sebenarnya) melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa ketiga anaknya kepada kepolisian. Pelaku dari kasus tersebut adalah mantan suaminya yang bekerja sebagai ASN. 

Namun, setelah dua bulan pelaporan itu, kasus tersebut justru dihentikan pada proses penyelidikan oleh kepolisian dengan dalih bukti tidak cukup. Padahal, Lidya sudah berusaha melampirkan bukti yang kuat. 

Pada awal Oktober 2019, saat Lydia mencuci piring, anak bungsunya berteriak bahwa kakaknya mengeluh sakit pada bagian vagina. Lydia segera mendekati anak sulungnya, memeluknya dari belakang sambil mengusap-usap pundak.

Si ibu berusaha menanyakan kondisi itu, tapi si sulung hanya diam tidak menjawab. Si sulung hanya menangis dan berkata bahwa si ayah melakukan perbuatan tak patut itu. 

Sebagian kalangan menyebut penghentian kasus ini janggal karena si suami adalah ASN. Viralnya kasus ini membuat netizen geram. Tagar percuma lapor polisi menggema di twitter. 

Tagar tersebut bukan hanya cuitan biasa, tapi sebagai bentuk kekecewaan publik pada instansi penegak hukum. Khususnya dalam penanganan kasus pelecehan dan kekerasan seksual.  

Jika kita runut kembali, hampir semua kasus pelecehan atau kekerasan seksual selalu bermula dari media sosial lalu viral. Contohnya kasus yang melibatkan penyiar radio (saya lupa namanya).

Setelah itu, datang kembali kasus pelecehan oleh anggota KPI. Jika ditarik ke belakang tentu ada kasus Baiq Nuril yang ironisnya ia justru menjadi pihak yang bersalah. 

Mengapa pola seperti itu selalu berulang sampai saat ini? Jawabannya mungkin beragam. Korban pelecehan seksual sering dianggap sebagai orang yang tidak baik. 

Misalnya karena pakaian yang bisa mengundang syahwat kaum pria. Padahal alasan ini dangkal, toh mereka yang pakaiannya tertutup juga sama mengalami hal serupa. 

Alasan kedua karena adanya beban pembuktian. Korban semakin enggan melapor karena dibebankan pembuktian semacam ini. Kurangnya bukti tersebut membuat laporan mereka ditolak. 

Sementara pelaku bebas berkeliaran tanpa rasa bersalah. Kasus yang menimpa anak Lidya adalah gambaran nyata betapa sulitnya mencari keadilan bagi mereka yang menjadi korban pelecehan atau kekersan seksual. 

Mereka tidak tahu harus mencari keadilan ke mana lagi. Institusi yang ditunjuk untuk melaksanakan itu justru kurang amanah dalam menjalankan tugasnya. 

Akhirnya mereka memilih media sosial sebagai tempat mengadu. Tentu masih ada bahaya yang mengintai yaitu UU ITE. Media sosial seakan menjadi antitesis dari institusi pori. 

Kedudukan media sosial seakan menjadi tempat mengadu bagi para korban. Media sosial tidak akan menolak aduan mereka. Justru berkat media sosial kasus itu akan segera diproses jika sudah viral.

Pada akhirnya media sosial menjadi tempat para korban untuk mencari keadilan. Seharusnya ini menjadi tamparan bagi institusi penegak hukum. 

Selain menjadi tamparan bagi institusi polri, tentu saja ini mencoreng dunia penegakan hukum di Indonesia. Selama ini hukum kita dikenal tajam ke bawah dan tumpul ke atas. 

Stigma itu tidak akan hilang jika kejadian ini terus berulang. Apalagi teruntuk kasus pelecehan seksual, masalahnya menurut saya sama yaitu tidak ada aturan yang bisa melindungi korban. 

Salah satu RUU yang melindungi korban pelecehan seksual adalah RUU PKS yang belakangan berganti nama. Sayangnya RUU itu hanya menjadi penghias dalam list prolegnas.

Para anggota dewan kita seakan enggan membahas apalagi mengesahkan RUU itu. Saya tidak tahu mengapa, yang jelas dinamika politik di parlemen begitu kuat. 

Meskipun negara kita adalah negara hukum, tapi jika kita melihat proses pembentukan undang-udang hukum justru menjadi variabel terpengaruh. Tentu saja variabel berpengaruh adalah politik. 

Jadi, besarnya kekuatan politik di sana akan menentukan undang-undang mana saja yang akan disahkan. Padahal ketentuan itu tidak sejalan dengan asas prioritas. 

Mungkin mereka menjalankan asas prioritas itu, tapi prioritas untuk sebagian golongan saja. Itu sebabnya RUU PKS yang melindungi korban mandeg dan sempat terlempar dari prolegnas.  

Kurangnya kekuatan politik dan RUU itu tidak masuk pada prioritas sebagian golongan membuat RUU PKS hanya menjadi penghias. Entah sampai kapan pola korban pelecehan akan melapor di medsos. 

Saya tidak tahu pasti, yang jelas pola itu merupakan suatu kemunduran dalam penegakkan hukum di Indonesia. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun