Pada akhirnya media sosial menjadi tempat para korban untuk mencari keadilan. Seharusnya ini menjadi tamparan bagi institusi penegak hukum.Â
Selain menjadi tamparan bagi institusi polri, tentu saja ini mencoreng dunia penegakan hukum di Indonesia. Selama ini hukum kita dikenal tajam ke bawah dan tumpul ke atas.Â
Stigma itu tidak akan hilang jika kejadian ini terus berulang. Apalagi teruntuk kasus pelecehan seksual, masalahnya menurut saya sama yaitu tidak ada aturan yang bisa melindungi korban.Â
Salah satu RUU yang melindungi korban pelecehan seksual adalah RUU PKS yang belakangan berganti nama. Sayangnya RUU itu hanya menjadi penghias dalam list prolegnas.
Para anggota dewan kita seakan enggan membahas apalagi mengesahkan RUU itu. Saya tidak tahu mengapa, yang jelas dinamika politik di parlemen begitu kuat.Â
Meskipun negara kita adalah negara hukum, tapi jika kita melihat proses pembentukan undang-udang hukum justru menjadi variabel terpengaruh. Tentu saja variabel berpengaruh adalah politik.Â
Jadi, besarnya kekuatan politik di sana akan menentukan undang-undang mana saja yang akan disahkan. Padahal ketentuan itu tidak sejalan dengan asas prioritas.Â
Mungkin mereka menjalankan asas prioritas itu, tapi prioritas untuk sebagian golongan saja. Itu sebabnya RUU PKS yang melindungi korban mandeg dan sempat terlempar dari prolegnas. Â
Kurangnya kekuatan politik dan RUU itu tidak masuk pada prioritas sebagian golongan membuat RUU PKS hanya menjadi penghias. Entah sampai kapan pola korban pelecehan akan melapor di medsos.Â
Saya tidak tahu pasti, yang jelas pola itu merupakan suatu kemunduran dalam penegakkan hukum di Indonesia.Â
Â