Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ironi Penanganan Kasus Kekerasan Seksual, Viral Dulu Baru Diproses

10 Oktober 2021   19:40 Diperbarui: 10 Oktober 2021   19:52 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi penghentian penyelidikan oleh polisi pada kasus kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. | Project Multatuli via: liputan6.com

Sebagian kalangan menyebut penghentian kasus ini janggal karena si suami adalah ASN. Viralnya kasus ini membuat netizen geram. Tagar percuma lapor polisi menggema di twitter. 

Tagar tersebut bukan hanya cuitan biasa, tapi sebagai bentuk kekecewaan publik pada instansi penegak hukum. Khususnya dalam penanganan kasus pelecehan dan kekerasan seksual.  

Jika kita runut kembali, hampir semua kasus pelecehan atau kekerasan seksual selalu bermula dari media sosial lalu viral. Contohnya kasus yang melibatkan penyiar radio (saya lupa namanya).

Setelah itu, datang kembali kasus pelecehan oleh anggota KPI. Jika ditarik ke belakang tentu ada kasus Baiq Nuril yang ironisnya ia justru menjadi pihak yang bersalah. 

Mengapa pola seperti itu selalu berulang sampai saat ini? Jawabannya mungkin beragam. Korban pelecehan seksual sering dianggap sebagai orang yang tidak baik. 

Misalnya karena pakaian yang bisa mengundang syahwat kaum pria. Padahal alasan ini dangkal, toh mereka yang pakaiannya tertutup juga sama mengalami hal serupa. 

Alasan kedua karena adanya beban pembuktian. Korban semakin enggan melapor karena dibebankan pembuktian semacam ini. Kurangnya bukti tersebut membuat laporan mereka ditolak. 

Sementara pelaku bebas berkeliaran tanpa rasa bersalah. Kasus yang menimpa anak Lidya adalah gambaran nyata betapa sulitnya mencari keadilan bagi mereka yang menjadi korban pelecehan atau kekersan seksual. 

Mereka tidak tahu harus mencari keadilan ke mana lagi. Institusi yang ditunjuk untuk melaksanakan itu justru kurang amanah dalam menjalankan tugasnya. 

Akhirnya mereka memilih media sosial sebagai tempat mengadu. Tentu masih ada bahaya yang mengintai yaitu UU ITE. Media sosial seakan menjadi antitesis dari institusi pori. 

Kedudukan media sosial seakan menjadi tempat mengadu bagi para korban. Media sosial tidak akan menolak aduan mereka. Justru berkat media sosial kasus itu akan segera diproses jika sudah viral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun