Childfree atau memutuskan untuk tidak memiliki anak menjadi perbincangan. Chlidfree berbeda dengan childless yang memang sudah tidak bisa memiliki anak.Â
Childfree sendiri sudah ada sejak dulu, istilah ini kembali populer setelah Gita Savitri, seorang YouTuber Indonesia memutuskan childfree.
Baca juga: Mengenal Childfree, Keputusan untuk Tidak Mempunyai Anak
Selain Gita Savitri, belakang pesohor tanah air lain yaitu Cinta Laura juga memilih untuk childfree. Cinta menyebut lebih memilih mengadopsi anak telantar.
Ada beberapa alasan mengapa pasangan memilih childfree. Bisa saja dari faktor finansial, mental, bahkan lingkungan. Jika melihat dua contoh kasus di atas, alasan finansial tidak masuk akal.Â
Gita Savitri sendiri beralasan memilih childfree karena menjadi orang tua mempunyai tanggung jawab besar. Selain itu, alasan Gita memilih childfree adalah ingin meningkatkan kualitas hidup dengan sang suami.Â
Sedangkan alasan Cinta Laura memilih childfree karena isu lingkungan. Bumi ini populasinya sudah banyak, sementara kualitas bumi sebagai tempat hunian manusia terus menurun.Â
Alasan tersebut terbilang cukup ekstrem. Bagaimana tidak, kehadiran anak dianggap bisa memperparah kondisi bumi yang kita huni saat ini.Â
Meskipun kondisi bumi yang rusak, tentu hal itu merupakan ulah segelintir orang. Selain itu, sifat rakus kita lah yang membuat iklim dunia berubah.Â
Tamparan bagi dunia parenting
Childfree jelas merupakan tamparan bagi dunia parenting. Parenting berbicara bagaimana mendidik anak menjadi lebih baik dan mempersiapkan masa depan anak sebaik mungkin.Â
Maka, childfree  kontradiksi dengan itu. Menjadi orangtua memang bukan hal yang mudah. Apalagi pola asuh yang diterapkan sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak.Â
Oleh sebab itu, pilihan pola asuh anak juga harus tepat. Para penganut childfree sendiri menganggap bahwa menjadi orangtua mempunyai tanggung jawab yang besar.Â
Memiliki anak butuh pertimbangan matang terlebih lagi untuk masa depan anak nanti. Memilih untuk tidak mempunyai anak menjadi pilihan ideal karena ketakukan tadi.Â
Tentu hal ini begitu kontra, karena sebagian dari kita anak adalah investasi dan selalu ada rezeki yang menyertainya. Tetapi, prinsip itu tidak berlaku bagi penganut childfree. Â
Childfree dari sudut pandang HAM
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (Pasal 28B UUD 1945)
Keputusan memilih childfree memang harus dipertimbangkan dengan matang. Selain dengan pasangan, tentunya harus mempertimbangkan pandangan keluarga.
Selain itu, childfree sendiri terdengar asing di Indonesia. Hal itu karena budaya kita yang kolektif. Seseorang yang sudah cukup umur untuk menikah pasti akan menjadi pergunjingan satu kampung.
Pertanyaan kapan menikah pasti datang silih berganti. Ketika sudah menikah, pertanyaan lainpun muncul, yaitu kapan mempunyai anak. Budaya itulah yang membuat childfree sulit diterima.
Selain itu, keadaan sosial kita telah menciptakan nilai abstrak terkait keluarga bahagia. Keluarga bahagia tidak hanya melangsungkan perkawinan saja. Tetapi dikaruniai seorang anak.
Itulah ukuran keluarga bahagia yang ada di masyarakat kita. Karena hal itu sudah lazim, maka mempunyai anak merupakan kodrat bagi perempuan.Â
Terlebih lagi, dalam pandangan agama anak yang lahir pasti sudah diatur dengan rezekinya. Lebih jauh, dalam beberapa masyarakat kita, anak merupakan penerus keluarga.
Misalnya untuk anak laki-laki dalam masyarakat patrilineal, anak laki-laki merupakan penerus marga. Kehadiran childfree jelas bertentangan dengan itu semua.
Lalu, bagaimana jika melihat dari kacamata HAM. Apakah melahirkan dan mempunyai anak merupakan kodrat perempuan? Berbicara HAM memang sangat mengedepankan aspek individu.
Di negara-negara yang menjunjung tinggi HAM, kedudukan individu begitu dihormati. Jelas saja kodrat yang dimaksud di atas tidak bisa diterima oleh penganut childfree.
Tubuh seseorang, terutama wanita seakan dipaksa oleh keadaan masyarakat tentang konsep keluarga ideal. Padahal, tubuh itu otoritasku, begitu kiranya.
Akulah yang mempunyai kuasa penuh dengan tubuhku ini. Akulah yang tahu betul tentang seluk beluk tubuhku. Jadi standar keluarga bahagia yang ditetapkan secara abstrak tersebut belum tentu bisa diterima semua orang.
Terkadang, seseorang yang sebenarnya ingin menunda untuk punya anak menjadi terpaksa mempunyai anak. Hal tersebut karena beberapa alasan, terutama tekanan dari lingkungan.
Memang terkesan liberal, tapi itulah HAM. Meskipun HAM menitikberatkan kedudukan individu, tetapi dalam UU No. 39 Tahun 1999 HAM sendiri dibatasi. Artinya tidak sepenuhnya bebas.
Lalu, apakah memilih untuk tidak mempunyai anak salah? Bagi saya tidak, tidak ada yang salah dengan mereka yang menganut childfree.
Keputusan untuk memilih childfree adalah hak masing-masing. Pasal yang saya singgung di atas sudah cukup untuk menjelaskannya.
Seseorang tentu berhak untuk menikah dan melanjutkan keturunan, hal tersebut sudah dijamin dengan tegas dalam konstitusi kita.
Jika seseorang memilih untuk tidak mempunyai anak, maka sejatinya mereka memilih untuk tidak menggunakan hak melanjutkan keturunan.
Begitu juga dengan seseorang yang memilih untuk tidak menikah, mereka sejatinya memilih untuk tidak menggunakan hak membentuk keluarga.
Kedua hak tersebut jelas merupakan hak individu yang tidak bisa diintervensi sama sekali. Seseorang mempunyai kekuasaan terkait dua hak di atas.
Artinya, hak tersebut kembali lagi pada individu. Kedua hak di atas menjadi kewenangan penuh individu, individulah yang berhak menggunakan atau tidak.
Seseorang bebas untuk menggunakan hak tersebut atau tidak. Bahkan mengatur kapan waktu yang tepat untuk memakai hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan.
Hanya saja, budaya kolektif kita yang membuat childfree terdengar asing. Oleh karenanya, keputusan seseorang untuk memiiih tidak menikah, bahkan memilih untuk tidak melanjutkan keturunan adalah ranah pribadi.
Hanya saja nilai standar keluarga bahagia yang diciptakan masyarakat membuat seseorang menjadi tidak bebas untuk menggunakan hak tersebut.
Jadi itulah pandangan saya tentang chidfree. Tidak ada yang salah dengan seseorang untuk memilih childfree, karena itu adalah hak pribadi. Mungkin dari sisi kesehatan tidak baik, tapi itu soal lain.
Jika ada yang bertanya, apakah saya mendukung childfree saya hanya bisa menjawab seperti ini. Saya tidak akan menyalahkan mereka yang memilih childfree, karena standar kebahagiaan setiap orang berbeda.
Begitu juga dengan saya, tentunya impian saya ya menikah dan mempunyai anak. Jadi, marilah kita saling menghormati satu sama lain perihal hak yang telah dijamin oleh undang-undang ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H