Setiap orang tua tentu ingin anaknya berprestasi, baik itu di bidang akademik maupun nonakademik. Tentu jadi kebanggaan setiap orang tua mempunyai anak yang penuh dengan prestasi.Â
Tidak sedikit juga ada orang tua yang suka membandingkan anaknya dengan anak orang lain. Tentunya ini menjadi tekanan tersendiri bagi sang anak.Â
Berbagai cara dilakukan para orang tua agar anaknya berprestasi. Untuk menunjang itu, si anak biasanya dibekali sekolah privat hanya agar si anak memiliki nilai bagus pada mata pelajaran tertentu.Â
Padahal, bisa saja potensi sang anak tidak dalam lingkungan tersebut. Tuntutan agar anak selalu menuruti apa kata ibu justru bisa menjadi bumerang. Salah satu pola asuh yang menekankan metode ini disebut dengan tiger parenting.Â
Lalu, apa yang disebut dengan pola asuh tiger parenting itu? Tiger parenting secara umum adalah menggabungkan dari pola asuh negatif dan dan suportif.
Pola asuh ini sering dianggap keras oleh sebagian kalangan, karena anak dipaksa untuk menurut, serta mengesampingkan perasaan anak.
Pola asuh ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ibu bernama Amy Chua asal Tiongkok. Beliau adalah profesor hukum di Universitas Yale.
Istilah tiger parenting sendiri ditemukan dalam bukunya yang berjudul Battle Hymn of the Tiger Mom yang terbit pada tahun 2011. Orang yang menerapkan tiger parenting disebut sebagai tiger mom.Â
Amy Chua menerapkan pola asuh ini pada anak-anaknya. Menurut Amy Chua, anak-anaknya yang berhasil dalam bidang akademik. Hal ini tidak terlepas dari pola asuh ini.
Amy Chua melarang anak-anaknya mononton TV, bermain video game, hingga dilarang menginap di rumah teman. Tuntutan itu tiada lain adalah agar sang anak dapat berprestasi di bidang akademik.
Amy Chua mengatakan bahwa pola asuh yang dia terapkannya efektif, hal tersebut karena kedua anaknya memperoleh nilai akademik tinggi dan bisa dikatakan sukses dalam karier mereka. Lantas, apakah pola asuh tersebut bisa dibenarkan?
Di sisi lain memang bagus, sang anak jadi berprestasi dan sukses di karier masing-masing. Tetapi, apakah pola asuh itu bisa diterima oleh semua anak? Bagaimana jika si anak gagal?
Tentunya bisa dibayangkan bukan jika sang anak gagal, ditambah lagi didikan yang keras. Ini hanya akan memberi beban berlebih pada anak. Bisa saja dengan kegagalan itu, si anak dituntut dengan beban yang lebih berat dari sebelumnya.
Ada yang menerima pola asuh ini ada juga yang tidak. Bagi mereka yang menerima pola asuh tiger parenting beralasan bahwa keberhasilan anak-anak Amy Chua menjadi alasan pembenar untuk pola asuh ini.
Di sisi lain, bagi mereka yang tidak setuju dengan pendapat Amy Chua beranggapan bahwa apa yang diterapkan oleh Amy merupakan pengalaman pribadi, bukan sebuah hasil penelitian ilmiah mendalam.
Hal tersebut tidak mempertimbangakan perbedaan tingkat keberhasilan. Saya jadi teringat dengan film Ip Man. Dalam film tersebut Ip Man begitu keras mendidik anaknya.
Ip Man menginginkan agar anak laki-lakinya bersekolah dengan baik. Tetapi, sang anak justru menyenangi wingchun.
Sang anak justru sering berkelahi karena tekanan dari Ip Man.
Bahkan surat-surat sekolah sering bertebaran datang ke rumah Ip Man karena perkelahian si anak. Dalam series terakhir, Ip Man rela datang ke Amerika hanya untuk mencari sekolah untuk anaknya.
Harapannya agar sang anak tersebut bisa berubah dan berprestasi di bidang akademik. Titik balik Ip Man adalah ketika bertemu dengan seorang gadis cantik bernama Yonah (Vanda Magraf).
Yonah menjadi korban bullying karena terpilih menjadi kapten cheerleaders.
Yonah kemudian pulang dan mengadu pada bapaknya yang bernama Wan Zong Hua.
Tetapi, si bapak malah menampar Yonah karena tidak melawan. Sang bapak berujar sudah membekali Yonah ilmu bela diri wingchun agar bisa melawan.
Hal tersebut membuat Ip Man termenung karena dia telah melakukan hal yang sama pada anaknya. Dari sinilah Ip Man menyadari bahwa apa yang dia lakukan dalam mendidik anak adalah salah.
Ketika mengobrol dengan Ip Man, Yonah mengatakan bahwa dia lebih menyenangi sekolah dan cheerleaders daripada menekuni wingchun. Tentu saja ini berbeda dengan anaknya yang ingin fokus pada wingchun.
Nah, dari cerita tersebut dapat kita simpulkan apa yang orang tua tuntut pada anaknya belum tentu disukai. Toh jika dipaksakan akhirnya tidak berprestasi juga. Anak Ip Man gagal dalam akademik dan Yonah sebaliknya.
Untuk menggambarkan di dunia nyata, ambilah contoh para atlet kita. Dalam beberapa kesempatan Kevin Sanjaya dan Marcus sering ditanya tentang pilihannya terjun ke bulutangkis daripada akademik.
Keduanya mengatakan bahwa sejak dari kecil memang menyukai olahraga raket tersebut. Di sisi lain, orang tua mereka selalu mensuport apa yang anaknya pilih. Inilah kunci keberhasilannya.
Orang tua tidak memaksakan kehendak, tetapi memberi dukungan pada anaknya untuk berkembang dengan bidang yang dia gemari. Jadi bagi saya pola asuh itulah yang baik, yaitu pola asuh supotrif.
Sebagai orang tua hendaknya mendukung bidang yang disenangi sang anak, asalkan bidang tersebut memberikan dampak positif bagi perkembangan anak.Â
Jika nilai matematika anak anda jelek, tetapi menonjol di bidang olahraga, bagi saya jangan memberikan les privat matemitka padanya. Lebih baik kembangkan potensi yang dia miliki, yaitu mengasah kemampuan olahraganya.
Bisa jadi sang anak akan menjadi seorang atlet erkenal dunia. Begitu juga jika sang anak hobi buat puisi, bisa jadi si anak di masa depan akan menjadi The Next Chairil Anwar.
Keberhasilan tidak hanya diukur oleh satu mata pelajaran atau bidang akademik saja. Biarkan anak berkembang dengan potensi yang dia senangi baik itu di lingkungan akademik maupun nonakademik.Â
Siapa tahu anak-anak yang gagal dalam akademik dan mata pelajaran tertentu di masa depan menjadi sastrawan, musisi, seniman, bahkan politikus ulung. Jangan sampai potensi anak terkubur hanya karena ingin memperbaiki bidanh yabg tidak disukainya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI