Pada hari Minggu pagi tanggal 28 Maret 2021, terjadi ledakan di depan Gereja Katedral di Makassar, Sulawesi Selatan. Ledakan tersebut diduga aksi bom bunuh diri, dan bagian tubuh dari pelaku berserakan.Â
Belakangan Kepolisian menyatakan bahwa pelaku bom bunuh diri tersebut merupakan sepasang suami istri yang baru menikah 6 bulan. Dua sejoli tersebut merupakan generasi milenial jika dilihat dari kelahirannya, yaitu tahun 1995.
Aksi bom bunuh diri yang melibatkan keluarga bukan pertama kali terjadi, pada 2018 kita masih ingat dengan kejadian di Surabaya yang melibatkan anak kecil dalam aksi keji tersebut.Â
Dari kejadian di atas menunjukkan bahwa paham radikalisme tidak mengenal siapa pun, semua orang termasuk orang terdidik bisa terkena paham ini.Â
Radikalisme berasal dari bahasa latin radix yang berarti akar. Kemudian dalam bahasa Indonesia berubah menjadi radikal. Sebenarnya radikal sendiri merupakan salah satu metode berpikir dalam filsafat, yaitu berpikir sampai "keakar-akarnya".
Kata radikal menjadi berbeda maknanya ketika masuk dalam ranah politik, maka lahirlah radikalisme sebagai suatu ideologi. Satu ideologi yang senantiasa menuntut perubahan secara drastis.
Di Eropa sendiri paham ini telah muncul pada abad ke-18 di Britnia Raya, misalnya pada saat itu masyarakat menghendaki akan adanya perubahan agar raja tidak memegang kekuasaan secara absolut, kekuasaan raja harus dibatasi.Â
Di Prancis pun demikian, orang-orang menghendaki perubahan secara drastis dalam merombak sistem pemerintahan saat itu, maka perubahan drastis yang terjadi sangat pesat tersebut disebut dengan revolusi.Â
Revolusi Prancis jelas merubah tatanan pemerintahan secara 180 derajat, yang tadinya monarki berubah menjadi negara demokrasi. Perubahan tersebut jelas akan mengubah tatanan kehidupan masyarakat pada saat itu.Â
Pandangan yang selalu menginginkan perubahan dalam politik sering disebut golongan "kiri" yang selalu dihadapkan dengan golongan "kanan". Tetapi jika perubahan tersebut menggunakan cara kekerasan maka akan dilabeli dengan kata ekstrim.
Tidak ada yang salah dengan menuntut perubahan, tetapi cara yang digunakan seringkali tidak tepat. Perubahan yang dikehendaki seringkali dibarengi dengan ancaman kekerasan kepada masyarakat, menimbulkan kekacuan dan teror, maka dari radikalisme itu lahirlah terorisme.Â
Jika awal radikalisme hanya ada dalam dunia politik, kini beralih ke dalam sosial keagamaan. Orang-orang ini biasanya menafsirkan agama dengan kaku, sehingga konsekuensinya jika tidak sejalan dengan pemahaman mereka akan dianggap salah.
Radikalisme juga muncul karena hendak kembali pada kejayaan masa lalu, misalnya dalam menegakkan satu pemerintahan dalam satu sistem tertentu, kemudian pihak-pihak yang tidak setuju akan itu dianggap thagut, atau dzalim, dan halal darahnya.
Untuk itu, dalam menafsirkan satu ayat kitab suci jangan hanya mengacu secara tekstual semata, tetapi harus dilihat secara konteksnya, apakah itu relevan untuk diterapkan atau tidak.
Misalnya dalam hal demokrasi langsung, demokrasi langsung pada saat ini tidak bisa diterapkan sama dengan zaman Yunani kuno yaitu mengumpulkan masyarakat dalam satu forum dan menyuarakan pendapatnya di sana.Â
Jika kita artikan demokrasi langsung secara tekstual, maka akan sulit untuk keadaan saat ini mengingat luasnya wilayah suatu negara dan banyaknya rakyat, tidak mungkin mengumpulkan rakyat dalam satu lapangan luas.Â
Oleh sebab itu, demokrasi langsung kini konteksnya berubah, yaitu rakyat memilih secara langsung  para wakilnya di parlemen dengan jalan demokrasi, yaitu pemilu. Meskipun mengalami perubahan, tetapi kontek tetap demokrasi langsung tidak hilang, tetapi mengalami penyesuaian.Â
Sama halnya dengan konsep jihad, alasan para terorisme melakukan bom bunuh diri adalah jihad atau perang di jalan yang benar. Jika kata jihad tersebut hanya diartikan secara tekstual maka yang terjadi adalah ancaman teror semata.
Tetapi apakah dari konteksnya perbuatan semacam itu termasuk ke dalam jihad? Jelas tidak, kondisi negara  kita tidak sedang berperang melawan apapun, kondisi negara kita damai, maka secara konteks penerapan jihad dengan jalan seperti itu adalah salah.Â
Konteks jihad saat ini bukanlah seperti itu, menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya adalah jihad untuk saat ini, melawan hawa nafsu, keserakahan dalam diri kita adalah jihad yang sesungguhnya.
Konteks jihad atau perang itu sendiri tidak semata-mata hilang, tetapi disesuaikan dengan kondisi sekarang. Maka itulah esensi jihad untuk saat ini. Â
Perlu pemahaman secara mendalam dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, untuk itu dalam menafsirkan satu ayat dalam kitab suci jangan sekali-kali hanya bergantung pada teks nya saja, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi saat ini, apakah relevan atau tidak.Â
Selain itu, doktrin-doktrin semacam itu sering kali menjadi kebenaran mutlak, dan orang yang menerima itu langsung saja ditelan mentah-mentah tanpa dicerna sama sekali.Â
Maka di sinilah pemikiran kita harus lebih kritis, kita harus berani menguji kebenaran mutlak tersebut, tidak hanya kesalahan, kebenaran pun perlu diuji apakah benar atau tidak.Â
Kunci agar kita tidak terpapar pemahaman semacam itu adalah menjaga akal sehat kita. Sejatinya ketika kita menerima pemahaman semacam itu jangan seperti kertas kosong, kita harus mempunyai filter untuk itu.Â
Jangan terlalu mudah menyimpulkan sesuatu hanya dari satu sudut pandang saja, tetapi yang harus dilakukan adalah kita harus mempunyai antithesa dari pemikiran itu, sehingga kita dapat mengambil satu kesimpulan yang utuh.Â
Tidak adanya pembanding tersebut membuat seseorang rawan terkena paham radikalisme. Slain itu, kurangnya pemahaman agama secara mendalam juga mempunyai andil yang cukup besar.Â
Oleh sebab itu, bekali diri kita dengan dasar-dasar keagamaan dan paham kebangsaan secara kuat. Selain itu, kita harus berani skeptis, dalam artian tidak menerima suatu paham begitu saja, harus mencerna secara utuh.Â
Tidak hanya tubuh yang butuh nutrisi agar tetap sehat, maka akal pun butuh nutrisi semacam itu agar tetap sehat, nutrisi dari akal tidak lain adalah ilmu. Rendahnya literasi, pemahaman yang dangkal hanya akan membuat akal kita sakit.
Selain akal yang butuh nutrisi agar tetap sehat, maka hati nurani juga membutuhkan itu. Coba kita pikirkan dengan akal sehat kejadian kemarin, apakah itu benar atau tidak? Jelas salah.Â
Apalagi jika nurani yang berbicara, jelas itu tidak mencerminkan manusia yang mempunyai hati nurani. Oleh sebab itu, jangan lah kita jatuh dalam kesesatan dalam berpikir, sesat berpikir hanya akan melahirkan tindakan yang menjauhkan dari moral.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H