Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kritik dan Budaya Saling Lapor

15 Februari 2021   21:20 Diperbarui: 17 Februari 2021   08:59 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Zwp Online

Belakangan Presiden Joko Widodo meminta masyarakat agar bersikap lebih kritis terhadap pemerintah, hal itu ditujukan agar segenap elemen masyarakat berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik. Hal tersebut harus kita apresiasi, artinya pemerintah tidak menutup diri, dan pemerintah siap menerima masukan dari masyarakat, selama itu dalam jalur yang benar.

Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, kritik merupakan instrumen yang penting dalam negara demokrasi. Kritik bisa menjadi vitamin agar pemerintahan tetap sehat, kritik laksana air di tengah gurun pasir yang bisa menghilangkan dahaga, dengan adanya kritik, pemerintahan menjadi lebih terkontrol, dan dengan adanya kritik penyalahgunaan kekuasaan bisa dihindari.

Apalagi untuk saat ini kritik sangat dibutuhkan, mengingat komposisi anatara oposisi dan pemerintah tidak seimbang, seakan-akan pemerintahan tanpa oposisi. 

Kita dulu sering disuguhkan dengan kritik pedas Fadli Zon dan Fahri Hamzah, namun untuk saat ini Fadli Zon dan partainya justru bergabung kepada pemerintah, dan jarang terdengar gaungnya seperti macan yang hilang taringnya. 

Sedangkan Fahri Hamzah tidak lagi di parlemen. Untuk menyeimbangkan komposisi tersebut, maka meminta masyarakat untuk lebih kritis menjadi pilihan realistis, masyarakat bisa menjadi alat kontrol bagi pemerintah.

Seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat, maka gaya mengkritik pemerintah kini beragam bentuknya, dengan kecanggihan teknologi kritik bisa dilakukan di mana saja, dan kapan saja.

Kini dengan bermodalkan handphone atau aktif di media sosial kita bisa menyampaikan kritik dengan lebih menarik. Perkembangan teknologi tersebut akan mengubah kebiasaan masyarakat yang mendasar, dengan adanya perubahan tersebut tentunya akan menyebabkan peristiwa hukum yang baru. Untuk mengakomodir itu semua, maka keluarlah regulasi terkait itu, yaitu Undang-Undang ITE.

Kemerdekaan berpendapat merupakan hak asasi setiap warga negara, dan itu sudah jelas diatur dalam konstitusi kita. Kritik juga harus disampaikan tanpa mengesampingkan etika, moral, dan aturan hukum. Artinya kritik dibatasi dengan kaidah-kaidah tersebut. Selama pembatasan tersebut tidak kelewat batas tidak akan menjadi masalah karena untuk ketertiban pula. 

Tetapi tidak semua orang bisa menerima kritik begitu saja, ada orang yang senang dikritik dan menerima lalu memperbaiki kesalahan, ada juga orang yang tidak mau menerima kritik, bahkan tercipta budaya saling lapor gara-gara mengkritik pemerintah.

Hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan prinsip negara demokrasi. Kritik memang harus dilakukan dengan tidak mengesampingkan etika, moral, serta hukum. Namun apa jadinya jika aturan hukum tersebut tidak jelas batasannya, dan justru membunuh kritik itu sendiri, pasal-pasal karet tersebut hanya dijadikan sebagai alat penguasa dan kroninya untuk membungkam kritik itu sendiri. Sehingga terciptalah budaya saling lapor, tanpa memahami terlebih dahulu esensi dari kritik itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun