Mohon tunggu...
Danik Eka Rahmaningtiyas
Danik Eka Rahmaningtiyas Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa Pascasarjana Psikologi Terapan Universitas Indonesia, konsentrasi Intervensi Sosial.\r\n\r\nChef of Rumah Tsaqof\r\n\r\nPemulung Sosial

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agresifitas Perempuan pada Fasilitas Publik Khusus Perempuan

20 Januari 2015   20:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:44 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Konformitas, sebagai bentuk pengaruh lingkungan kepada individu untuk mengikuti perilaku seperti yang dilakukan oleh kelompok. Pengguna fasilitas publik adalah kelompok yang memiliki norma tidak tertulis yangdilakukan oleh anggota kelompoknya, saat seseorang menggunakan fasilitas pulik tersebut secara tidak langsung mengikuti pola yang sudah berjalan. Contoh : di stasiun saat kereta mulai mendekat, seluruh calon penumpang mendekat bahkan menginjak garis kuning (padahal dilarang) agar bisa memasuki gerbong dengan cepat; saat memasuki gerbong mendorongkan badannya ke dalam agar mampu menyelipkan badan serta memadatkan penumpang-penumpang lainnya sehingga kondisimakin lapang. Perilaku ini diikuti oleh penumpang-penumpang lainnya.

Perilaku agresi ini sangat berbahaya jika sudah menular dan berubah menjadi deindivuasi. Deindividuasi terjadi saat kesadaran individu sudah hilang dan melebur di dalam kelompok. Hal ini dapat disebabkan oleh situasi baru yang kacau, serta kebisingan dan keletihan (Zimbardo, 1970). Dehumanisasi akan mengiringi proses deindividuasi. Dehumanisasi sebagai bentuk pengabaian dan penyepelekan kepribadian atau kualitas manusiadari orang lain. Ketika seseorang termotivasi untuk menyerang orang lain, apapun alasannya, mereka mungkin melakukan dehumanisasi dengan mengatributkan keyakinan dan nilai kepada target agresinya (Taylor, et. Al, 2009).

Serangan, frustasi, ekspektasi pembalasan, kompetisi, konformitas bukanlah variable bebas (dependent variable = DV) dari munculnya perilaku agresi (DV). Hal-hal tersebut menjadi aktif apabila factor-faktor penyebabnya juga aktif.

Perempuan dilahirkan dengan tugas biologis dan social yang kompleks, harus mejadi anak, istri dan ibu. Belum lagi jika ada tambahan tugas sebagai pelajar atau pekerja di sector publik. Kompleksivitas inilah yang menuntut perempuan harus mampu melakukan managerial terhadap tugas dan perannya. Apabila tidak mampu mencapai keseimbangan, akan menghasilkan reaksi stress yang membutuhkan kompensasi dari ketegangan yang dirasakan.

Infrastuktur fasilitas publik khusus perempuan sudah semakin meningkat, pelayanan pun juga semakin ditingkatkan dengan melarang selain perempuan menggunakannya. Namun tidak ada kesiapan penggunanya untuk tertib demi mencapai tujuan pengadaan semula, yakni keamanan dan kenyamanan. Pengguna disini adalah perempuan,selain ada budaya disiplin dan toleransi yang masih rendah. Seringkali faktor lingkungan menjadi salah satu alasan pemicu munculnya agresifitas. Sepertikemacetan, kebisingan, hingga suhu udara yang panas. Akhirnya kembali pada pertanyaan dimana letak kendali diri. Semua orang membutuhkan keamanan, kenyamanan dan tujuannya tercapai. Namun jika semua orang saling melihat orang lain adalah kompetitor untuk memperoleh itu, jelas-lah perilaku agresi yang muncul dan belum semua pihak bisa mendapatkannya. Saat ada kesadaran kooperatif bahwa fasilitas publik tersebut diperuntukkan dan dimanfaatkan bersama, maka antar-pengguna pun akan saling membantu agar yang lainnya dapat memperolehnya. Hal terpenting yang harus dibangun oleh para pengguna (perempuan, red) adalah kesadaran kooperatif.

Selain dari sisi perempuan, hal lain yang mampu menjadi pemicu factor agresifitas adalah beban peran yang kompleks baik di ranah domestic dan publik. Oleh sebab itu diperlukan lingkungan yang kondusif yang mampu berbagi peran, tidak membebankan semua menjadi tanggung-jawab seseorang saja (misal mendidik anak adalah tugas istri saja, suami tidak tahu-menahu dengan urusan dan kebutuhan rumah, atau pandangan bahwa yang berhak berkarier/berprestasi di publik hanya laki-laki saja). Selainitu varian-varian aktifitas untuk menghilangkan kejenuhan juga diperlukan, karena rutinitas mampu menimbulkan stress yang akumulatif. Agresi bisa menjadi salah satu bentuk kompensasinya.

Saatnya kita mulai menciptakan situasi fasilitas publik yang kondusif dengan meningkatkan kesadaran kooperatif baik dalam memperoleh keamanan dan kenyamanan, serta kesadaran dalam berbagi peran dan berkarier publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun