Mangain Marga, mungkin adat ini lebih sering dilakukan di jaman modern ini dimana banyak orang Batak yang menikah dengan pasangan beda suku,walau sebenarnya adat ini sudah ada lama di budaya Batak dan bukan sekedar untuk memberi embel-embel marga dibelakang nama seseorang. Jika sesama orang Batak bertemu dengan orang Batak lainnya ungkapan “jolo sinungkun marga asa binoto partuturan”, yang maksudnya adalah tanya dulu marga supaya paham bersilsilah(keluarga).
Salah satu umpama Batak menyebutkan “Asa dos nangkokna dos nang tuatna. Molo hita manjalo adat, laos hita do manggarar adat i. Hot pe jabu i, ala hot margulang-gulang, Manang sian dia pe bere i mangalap boru, Sai hot do i boru ni Tulang, Sinuan bulu sibahen na las, Sinuan partuturan sibahen na gabe jala horas.” yang kurang lebih artinya jika kita menerima adat kita harus membayar adat tesebut, dan darimana pun bere mendapat boru (pasangannya), boru itu tetap borunya Tulang. Dan disitulah pentingnya memberi marga kepada siapapun yang akan menerima adat Batak.
Adat Batak adalah adat yang sopan dan cukup kompleks serta tidak asal-asalan sehingga orang Batak tidak asal-asalan dalam memberian marganya kepada orang lain. Sehingga penulis sendiri juga tidak terima jika adat ini disebut orang dengan adat membeli marga.
Mangain atau mangampu (mengangkat) seseorang menjadi anak/boru nya atau memberi marga/boru kepada seseorang yang berasal dari suku lain, entah Jawa, Sunda, Ambon bahkan orang asing.
Ini sangat penting dan bukan sekedar formalitas agar seorang dapat menikah dengan orang Batak, melainkan pentingnya melestarikan adat Batak bahwa hanya orang Batak yang dapat menjalankan adat Batak.
Adat Mangain marga dapat dilakukan terhadap laki-laki (Mangain anak) maupun terhadap perempuan (Mangain boru). Untuk mangain anak marga yang diambil adalah marga amangboru dari perempuan yang akan dinikahinya. Sedangkan untuk mangain boru, marga yang akan diberikan kepada perempuan adalah marga Tulang(saudara laki-laki ibu) dari si laki-laki.
Adat Mangain merupakan dengan prosesi dimana sekeluarga mendatangi hula-hula, membawa makanan khas Pinahan Lobu (daging babi), kemudian meminta agar parumaen yang sudah bersama anak laki2nya diampu oleh Hula-hula. Sedikit uang atau piso-piso atau pasituak natonggi dibagikan kepada pihak hula-hula. Beres sudah Parumaen Boru Jawa itu sudah dianggap syah menjadi boru dari keluarga yang mangampu.
Tapi apakah adat mangain hanya sesimpel itu?
Sebelumnya kita harus tahu kalau setiap adat batak harus dihadiri oleh unsur Dalihan natolu yaitu Dongan tubu, Boru, Hulahula ditambah satu lagi yaitu dongan sahuta (orang sekampung) dan harus melalui pembicaraan serta kesepakatan oleh kedua belah pihak. Umpama yang sering diucapkan seperti:
Bonang sada hulhulan
Hori sada simbolan
Tangkas masisungkunan
Unang adong masisolsolan
Yang kurang lebih artinya agar jelas dalam bertanya atau bermufakat agar tidak ada penyesalan.
Berikut secara ringkas saya tuliskan urutan acara dalam adat Mangain:
1. Natorasna (Orangtua):
a. Marmeme anak baoa/anak boru disulanghon tolu hali (menyuapkan makanan sebanyak 3 kali)
Indahan (nasi)
Dengke (ikan: biasanya ikan mas)
Mual sitiotio (air: sitiotio/air jernih dari mata air)
b. Pasahat Ulos (menyampaikan ulos)
c Pasahat parbue gabe
2. Hulahula (pihak tulang/ ito/saudara laki-laki mama)
a. Pasahat dengke (menyampaikan/memberikan ikan)
b. Pasahat ulos (menyampaian ulos)
c. Pasahat parbue gabe
3. Marsipanganon (makan bersama)
4. Pasahat upa panggabei (hepeng/uang)
a. Dongan tubu
b. Boru, bere
c. Dongan sahuta, aleale (teman sekampung)
5. Pasahat pisopiso (hepeng) tu hulahula dohot uduranna (memberikan uang kepada pihak Tulang)
6. Marhata gabe horas, manggabei ma angka raja
7. Mangampu hasuhuton
8. Dipasahat ma tu hulahula asa diujungi dohot ende/tangiang
Berikut adalah sejarah beberapa orang/tokoh yang telah menerima adat Mangain:
Edward M Bruner, seorang peneliti antropologi dari Amerika Serikat. Saat melakukan penelitian di Desa Meat, Balige, Kabupaten Toba-Samosir (1957-1958) bersama istrinya, menunggangimamampehon marga, agar dia diterima masyarakat dan penelitiannya berhasil. Mantan bupati Tapanuli Utara SM Simandjuntak yang memberikan marga Simanjuntak pada istri Bruner, yang bernama Elaine C. Bruner. Karena pemberian marga itu, maka Bruner berhak tinggal di kampung Simanjuntak. Proses ini disebut sebagai sonduk hela.
Demikian pula pemberian marga pada Prof Dr Susan Rodgers, mahaguru sosiologi dan antropologi dari Amerika Serikat. Pemberian marga Siregar di daerah Sipirok pada tahun tujuh puluhan itu tenyata sangat mengesankan bagi dia, terbukti dengan pencantuman marga Siregar dalam tulisan-tulisan ilmiahnya.
Tahun 1981, di Desa Tanobato, Mandailing, Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, juga diberi marga Nasution dan gelar Sutan Iskandar Muda oleh masyarakat Mandailing. Pemberian marga tersebut terkait perannya memajukan pendidikan di Mandailing, dengan membangun SMA Negeri Tanobato di bekas Kweek school voor Inlandsche Onderwijzers,yang didirikan Willem Iskander pada tahun 1862.
-dikutip dari berbagai sumber dan opini penulis. blog: danijuntak.blogdetik.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H