Mohon tunggu...
Daniel Jones Bernadi
Daniel Jones Bernadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Moody Writer :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peningkatan Fungsi Lahan di Urban Area Melalui Pembangunan Rumah Susun

15 Agustus 2011   12:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:45 3911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggunaanlahanuntukbangunanyangterusmeningkatdiwilayah Kota Surabaya menimbulkan masalah di masa yang akan datang. Tingginya tingkat kelahiran dan migrasi penduduk yang terbentur pada kenyataan bahwa lahan di perkotaan semakin terbatas dan nilai lahan yang semakin meningkat serta mayoritas penduduk dari tingkat ekonomi rendah, menimbulkan permukiman-permukiman padat di kawasan yang dianggap strategis yaitu kawasan pusat kota, industri dan perguruan tinggi. Alternatif pembangunan yang dianggap paling sesuai dengan kondisi di atas yaitu pembangunan kearah vertikal, dalam hal ini adalah Rumah Susun. Pembangunan rumah susun ini merupakan konsekuensi logis di kota besar terutama di kawasan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi seperti Surabaya. Di Surabaya sendiri terlihat bahwa keterbatasan lahan bagi permukiman semakin terbatas. Kendala lain yang juga tidak boleh dilupakan adalah keterbatasan kemampuan ekonomi masyarakat. Menurut hasil kajian studi pasar perumahan di Indonesia menunjukkan bahwa penduduk perkotaan sebanyak 65% berpenghasilan di bawah 1,3 juta rupiah per bulan (Hasil Studi Pasar Perumahan/Home Project). Dari hasil studi diketahui bahwa target pasar untuk hunian di wilayah perkotaan mayoritas adalah masyarakat menengah ke bawah.

Seiring dengan berjalannya waktu pemerintah juga telah mencanangkan pembangunan seribu rumah susun di seluruh kota di Indonesia yang berpenduduk diatas dua juta jiwa. Rencana besar yang akan menggerakkan ekonomi Indonesia ini menelan anggaran 50 trilliun rupiah. Seluruh rumah susun tersebut terdiri dari 20 lantai, dimana tiap rumah susun berisi kurang lebih 600 unit.

Rumah susun terbanyak akan dibangun adalah di DKI Jakarta dengan jumlah penduduk sekitar sepuluh juta jiwa. Sedangkan di kota lain yang juga akan dibangun rumah susun diantaranya adalah Surabaya, Bandung, Semarang, Medan dan Makassar. Rumah susun merupakan jawaban yang paling rasional untuk mengatasi ledakan penduduk, menghilangkan kawasan kumuh, komitmen menjaga lingkungan, efisiensi lahan dan upaya mendekatkan warga dengan tempat kerjanya. Bagi konsumen golongan menengah ke bawah penyediaan hunian vertikal diwujudkan dalam bentuk rumah susun sederhana (rusuna). Adapun beberapa sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan rumah susun sederhana antara lain untuk memenuhi kebutuhan hunian masyarakat berpenghasilan rendah, meningkatkan fungsi lahan dan meningkatkan kualitas hunian padat di lokasi-lokasi yang berdekatan dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Bagi konsumen golongan ekonomi menengah ke atas penyediaan hunian vertikal diwujudkan dalam bentuk rumah susun dengan kelas menengah, dengan fasilitas yang tentunya berbeda dengan rumah susun sederhana. Adapun sasaran yang dicapai dalam pembangunan rumah susun kelas menengah adalah untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas serta meningkatkan fungsi lahan dan meningkatkan kualitas hunian padat. Sedang bagi konsumen golongan atas penyediaan hunian vertikal diwujudkan dalam bentuk rumah susun mewah/apartemen dengan fasilitas yang sepadan dengan kelas rumah susun. Dan akan sangat baik jika warga berdomisili di dekat lokasi kerja sehingga mereka cukup berjalan kaki atau naik sepeda tiba di kantor. Tidak perlu naik kendaraan umum atau kendaraan pribadi yang pasti menyumbang kemacetan dan polusi.

Seperti halnya di Jakarta, akibat kemacetan, kerugian yang harus ditanggung terhadap biaya perjalanan dari tempat tinggal menuju ke tempat kerja telah menggerus hampir 30 – 50 persen dari pendapatan bersih (Harian Kompas, Selasa, 29 Agustus 2006). Peningkatan biaya perjalanan ini semakin diperparah dengan semakin mahalnya harga BBM serta ongkos perjalanan dengan angkutan umum. Jika diukur dari sisi kemampuan sewa adalah cukup prospektif, antara lain jika terjadi persandingan antara biaya perjalanan dari tempat tinggal ke tempat kerja dengan kemampuan membeli atau menyewa rumah susun, bahkan apartemen menengah. Sebagai ilustrasi, biaya operasional kendaraan (termasuk BBM) mencapai kisaran 1 – 1,5 juta rupiah per bulan (hampir sama dengan cicilan apartemen menengah selama 15 tahun). Lalu bagaimana dengan biaya transportasi anggota keluarga yang lain? Tentunya mereka akan semakin miskin kehidupannya dengan semakin mahalnya biaya perjalanan. Lama kelamaan hal yang serupa ini kemungkinan besar akan terjadi pula di kota Surabaya.

Kebutuhan lahan perumahan di Kota Surabaya dalam kurun waktu tahun 2003 – 2013, diperkirakan meliputi 53,85% dari total luas Surabaya. Sesuai RT/RW Kota Surabaya tahun 2003-2013, kebutuhan permukiman sampai dengan tahun 2013 diperkirakan mencapai 556.542 unit, dengan kebutuhan lahan lebih kurang 17. 593,75 Ha. Berdasarkan data dari BPN Kota Surabaya, sampai dengan tahun 2001 luas lahan permukiman adalah 13.711 Ha, dengan demikian masih dibutuhkan tambahan lahan permukiman seluas 3.882,75 Ha, seperti pada tabel 1 (lampiran).

Pengadaan rusunawa di Surabaya selama ini tidak terlepas dari subsidi, yang pembangunannya sebagian besar bersumber pada dana APBN. Hanya sebagian kecil yang bersumber pada dana APBD I dan APBD II. Pemerintah Kota Surabaya lebih banyak bertindak sebagai penyedia lahan serta sarana dan prasarananya. Pengelolaan yang ada tidak seluruhnya ditangani oleh Pemerintah Kota Surabaya, terdapat beberapa rumah susun sederhana yang dikelola oleh pihak lain seperti Perum Perumnas dan Dinas Permukiman Jawa Timur. Secara bertahap rumah susun sederhana yang saat ini masih dalam pengelolaan Dinas Permukiman Propinsi Jawa Timur nantinya akan diserahterimakan pengelolaannya kepada Pemerintah Kota Surabaya. Karena hampir semua rusunawa di Surabaya saat ini adalah menggunakan sistem subsidi, serta anggaran dana untuk operasional rusunawa terbatas, maka lama kelamaan hal ini akan menjadi beban anggaran bagi Pemerintah Kota Surabaya sedang lahan yang tersedia semakin terbatas.

Dari uraian di atas, maka diharapkan akan direncanakan suatu rumah susun bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah (relokasi dan perumahan kumuh), menengah bawahdan menengah atas di lokasi di atas tanah milik Pemerintah Kota Surabaya, dengan asumsi bahwa untuk rumah susun kelas sederhana dibangun dengan sistem subsidi, sedang rumah susun kelas menengah ke atas terdapat investor yang telah menanamkan modalnya di atas tanah sewa milik Pemerintah Kota Surabaya. Dengan demikian diharapkan terjadinya subsidi silang antara pembangunan rumah susun untuk program pemerintah (relokasi dan perumahan kumuh) dengan pembangunan rumah susun kelas menengah ke atas (apartemen) di lokasi di atas tanah milik Pemerintah Kota Surabaya. Untuk itu dalam merencanakan rumah susun ini, diperlukan suatu kajian untuk mengetahui kondisi rumah susun yang ada di Surabaya beserta fasilitasnya, serta data lokasi tanah milik Pemerintah Kota Surabaya yang berada di Surabaya. Untuk itulah maka penelitian ini perlu dilaksanakan.Pengadaan rusunawa di Surabaya selama ini tidak terlepas dari subsidi, yang pembangunannya sebagian besar bersumber pada dana APBN. Hanya sebagian kecil yang bersumber pada dana APBD I dan APBD II. Pemerintah Kota Surabaya lebih banyak bertindak sebagai penyedia lahan serta sarana dan prasarananya. Pengelolaan yang ada tidak seluruhnya ditangani oleh Pemerintah Kota Surabaya, terdapat beberapa rumah susun sederhana yang dikelola oleh pihak lain seperti Perum Perumnas dan Dinas Permukiman Jawa Timur. Secara bertahap rumah susun sederhana yang saat ini masih dalam pengelolaan Dinas Permukiman Propinsi Jawa Timur nantinya akan diserahterimakan pengelolaannya kepada Pemerintah Kota Surabaya. Karena hampir semua rusunawa di Surabaya saat ini adalah menggunakan sistem subsidi, serta anggaran.

Di kota Surabaya terdapat 8 (delapan) rumah susun, bertipe antara 18 sampai dengan 54 m2, yang dikelola baik oleh Pemerintah Kota Surabaya sendiri, Perum Perumnas maupun Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Adapun rumah susun yang dikelola oleh Pemerintah Kota Surabaya adalah :

- Rumah Susun Urip Sumoharjo, terdiri120 unit, tipe 24 m2 dengan harga sewa untul lantai 1 sampai dengan lantai 4 sebesar Rp. 104.000,-

- Rumah susun Sombo, terdiri 618 unit, tipe 18 m2 dengan harga sewa Rp.20.000,- untuk lantai 1 sampai dengan Rp. 5.000,- untuk lantai 4

- Rumah susun Dupak Bangunrejo, terdiri 150 unit, tipe 18 m2 dengan harga sewa Rp. 20.000,- untuk lantai 1 sampai dengan Rp. 5.000,- untuk lantai 4

- Rumah susun Penjaringansari I, terdiri 219 unit, tipe 18 m2 dengan harga sewa Rp. 20.000,- untuk lantai 1 sampai dengan Rp. 5.000,- untuk lantai 4 (telah dilakukan penelitian tentang penyediaan fasilitas rumah susun)

- Rumah susun Penjaringansari II, terdiri 288 unit, tipe 21 m2, harga sewa Rp.75.000,- untuk lantai 1 sampai dengan Rp. 60.000,- untuk lantai 4 (proses penghunian belum ada 2 tahun)

- Rumah susun Wonorejo, terdiri 288 unit, tipe 21 m2, harga sewa Rp.75.000,- untuk lantai 1 sampai dengan Rp. 60.000,- untuk lantai 4 (proses penghunian lebih dari 2 tahun)

Dilihat dari tipe dan harga sewa yang telah disediakan, selanjutnya peneliti mengambil studi kasus yang mewakili rumah susun kelas menengah atas adalah rumah susun Urip Sumoharjo, rumah susun kelas menengah bawah adalah rumah susun Wonorejo sedang kelas sederhana adalah rumah susun Penjaringansari I.

Pengertian rumah susun menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Sehingga dengan adanya bangunan ini diharapkan ada peningkatan fungsi lahan dan efisiensi lahan.

Sebagaimana yang ada dalam sebuah media masa (Harian Kompas, Selasa, 29 Agustus 2006). Bahwa dengan adanya rumah susun bisa juga menjadi solusi bagi kemacetan yang ada di kawasan perkotaan dan pemerintah harus mampu meyakinkan masyarakat untuk menghuni rumah susun tersebut, bahwa biaya transport selama sebulan jika ditotal bisa jadi sama dengan biaya untuk mengangsur rumah susun tersebut.

Sebagian besar penghuni rumah susun adalah didominasi oleh usia produktif kerja dengan tingkat pendidikan SMU/sederajat. Para penghuni umumnya merupakan pekerja dengan pendapatan tidak tetap. Motivasi penghuni untuk tinggal di rumah susun umumnya karena dekat dengan tempat bekerja. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan bahwa masyarakat membutuhkan adanya rumah susun pada daerah-daerah sentra industri, jasa perdagangan maupun pendidikan.

Selain penempatan yang tepat bagi rumah susun tersebut. Fasilitas adalah salah satu yang harus diperhatikan dalam pengadaan bangunan rumah susun ini. Mulai dari fasilitas listrik, air, keamanan, tempat jemur, tempat parkir, tempat bermain anak, tempat pendidikan, tempat peribadahan dan warung. Itu adalah peryaratan fasilitas rumah susun yang minimal harus dipenuhi.

Dengan pemenuhan fasilitas tersebut diharapkan kesejahteraan penghuni rumah susun tersebut bisa menigkat. Dari sisi ekonomi, pembangunan rumah susun mampu mengurangi pengalihan fungsi lahan pertanian di area dekat Surabaya menjadi lahan pemukiman. Padahal area pertanian adalah lahan produktif yang mampu menunjangketahanan pangan nasional.

Lahan pertanian di areu urban bukan tidak mungkin akan beralih fungsinya menjadi lahan pemukiman, namun hal tersebut harus diperhitungkan matang-matang. Lahan pertanian bisa berubah fungsi menjadi lahan pemukiman apabila lahan pertanian tersebut sudah tidak produktif lagi atau kadar kesuburannya telah mengalami degradasi yang signifikan sehingga membutuhkan biaya yang mahal bagi para petani untuk mengembalikan kadar kesuburan tersebut.

Teori sewa dari David Ricardo didasarkan asumsi pada daerah pemukiman baru terdapat sumber daya tanah yang subur dan berlimpah seperti digambarkan pada gambar 1 dengan tingkat penggunaan input tk dan kapital tertentu pada sebidang tanah yang sama dengan 4 tingkat kesuburan tanah yang berbeda mulai dari yang tertinggike terendah : tanah A,B,C, dan D dengan kapasitas produksi masing – masing 50 unit, 40 unit, 30 unit, 25 unit. Karena pertumbuhan jumlah penduduk, tanah B mulai digunakan untuk perluasan tanaman , dan tanah B mulai memiliki nilai sewa apabila tanah C digunakan untuk perluasan tanaman, dan seterusnya. Dengan demikian tanah A memiliki nilai sewa yang tertinggi yang ditunjukkan oleh surplus ekonomi dari tanah D.

Ricardo berpendapat bahwa harga produk pertanian ditentukan oleh biaya produksi sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang meningkat pula. Harga produk harus meningkat sejalan dengan perluasan pertanian dan penggunaan tanah subur yang semakin intensif. Teori nilai sewa Ricardo didasarkan pada perbedaan kualitas tanah untuk membayar sewa tanpa memperhatikan factor lokasi tanah. Oleh karena itu pada saat petani tak mampu lagi menanggung biaya produksi yang semakin tinggi maka petani akan menjual lahannya dan kebanyakan pembelinya adalah pihak yang ingin mengkonversi lahan tersebut manjadi lahan pemukiman atau tempat kegiatan perekonomian, seperti mall dan rumah toko maupun perkantoran.

Sedangkan menurut Von Thunen sewa tanah berkaitan dengan biaya transport dari daerah yang jauh ke pusat pasar. Teori ini dapat digambarkan pada gambar 2 yang dilukiskan bahwa semakin jauh jarak lokasi dari pasar akan menyebabkan semakin tingginya biaya transportasi. Misalnya pada jarak 0 km (tepat pada pasar). Biaya transport setinggi nol dan biaya total OC pada gambar 2 (a), dan pada jarak OK km, biaya total menjadi KT dan biaya transport menjadi UT. Kemudian apabila harga barang yangdiangkut setinggi OP, maka pada jarak OK tidak agi terdapat land rent; sedangkan pada jarak O (nol), besar land rent adalah CP. Jadi land rent ini memiliki hubungan terbalik dengan jarak lokasi tanah dengan pasar seperti yang dilukiskan gambar 2 (b). Selanjutnya land rent ini pulalah yang menentukan tingginya harga tanah yang bersangkutan.

Disinilah peranan rumah susun menjadi vital, dengan efisiensi lahan yang ada dan semakin bertambahnya jumlah penduduk tiap tahunnya. Menurut Von Thunen apabila dijabarkan dengan kalimat yang lebih mudah dimengerti masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah maka, lebih baik beli rumah susun dekat pusat kota (pusat pasar) dari pada harus bolak-balik dari rumah ke pusat kota dengan biaya transport yang tak murah, belum lagi kalau macet bisa merugikan karena terlambat dan belum lagi capek diperjalanan.

Apabila pemerintah benar – benar serius dalam peningkatan lahan di area urban, khususnya Surabaya. Harus benar – benar memperhatikan aspek – aspek yang bisa membuat masyarakat sadar dan mendukung kesuksesan implementasi program pemerintah ini.

Lahan di Surabaya memang masih ada beberapa hektar lahan hijau (non-pemukiman). Lahan – lahan tersebut untuk saat ini sebaiknya tidak perlu dikonversi menjadi lahan pemukiman terlebih dahulu dan sebaiknya pemerintah memfokuskan lahan – lahan milik pemerintah yang bisa digunakan untuk pendirian rumah susun.

Penempatan rumah susunpun tak boleh sembarangan karena bila tidak dilakukan peninjauan maka bisa saja pembangunan itu hanya menjadi mubazir. Sebagian besar masyarakat yang ada pada kasus diatas tadi, masyarakat lebih membutuhkan rumah susun yang dibangun didekat pusat – pusat industri ataupun pusat – pusat pendidikan dan juga pusat – pusat kegiatan ekonomi lainnya. Alasannya adalah efisiensi karena dengan jarak yang dekat selain waktu yang ditempuh semakin singkat juga biaya yang dikeluaekan juga minimum cost. Selain itu kemacetan pun bisa terkurangi karena banyak orang akan memilih jalan kaki apabila keberadaan rumah susun dekat dengan tempat kerja atau tempat sekolah mereka.

Tanah untuk sector pertanian seperti untuk sawah dan perkebunan disamping memiliki nilai atas guna langsung maupun tak langsung juga memiliki jasa lingkungan (inveronmental service) yang memiliki nilai walaupun tanpa penggunaan(non use values). Nilai ekonomi atas jasa lingkungan yang digunakan secara tak langsung tersebut seringkali tidak tercermin pada harga tanah. Nilai tak langsung dari jasa lingkungan karena bersifat barang public, maka sulit dimintakan pembayaran oleh dan terhadap individu. Oleh karena itu, nilai atas jasa lingkungan harus dipikirkan pemerintah dan dapat dikenakan pungutan atas tanah yang dikonversi ke penggunaan diluar sector pertanian.

Apabila ada pengalihan lahan pertanian menjadi pemukiman memang benar – benar harus dicermati, sebaiknya harga yang dipatok untuk lahan pertanian yang akan dikonversi ini harus tinggi dan lahan permukiman perorangan harus dinaikan guna mengurangi permintaan akan lahan permukiman dan orang akan cenderung memilih membeli sebuah rumah di komplek rumah susun.

Menanggapi isu pemanasan global sebaiknya lahan – lahan tidak produktif (yang tidak digunakan sebagi lahan pertanian maupun permukiman) sebaiknya digunakan untuk pembangunan taman kota. Sehingga nilai tanah bisa dinikmati masyarakat banyak dengan adanya jasa lingkungan yang dihasilkan oleh taman kota.

Untuk membangun taman kota memang tak mudah, karena membutuhkan dana dalam pembuatan serta perawatannya. Kebijakan yang bisa diimplikasikan adalah dengan memberikan keringanan pajak pada investor yang mau membuat taman kota dan mewajibkan industri – industri untuk membangun taman kota guna mengurangi polusi yang mereka hasilkan dari proses produksi mereka. Dengan demikian jasa lingkungan dari lahan tidak produktif bisa dimaksimalkan dan membantu mengurai polusi serta menghambat adanya pemanasan global.

Terpenting ialah bagaimana pemerintah mampu merealisasikannya serta berusaha memantau perkembangan dari program – program yang bertujuan meningkatkan fungsi lahan di area urban ini. Banyak faktor yang mampu menghambat terealisasinya program ini, misal kembali maraknya kawasan kumuh yang ada di wilayah tidak produktif, seharusnya lahan – lahan tidak produktif atau lahan kosong ini bisa dimanfaatkan sebagai taman kota maupun tempat olah raga bagi masyarakat umum.

Misal , di Surabaya, di daerah sekitar sungai dekat Monumen Kapal Selam (Monkasel) telah bisa dimanfaatkan sebagai Skate Park, apabila dibiarkan kosong begitu saja bukannya tidak mungkin akan menjadi kawasan kumuh dibantaran sungai seperti didekat daerah sungai Jagir, Wonokromo. Selain itu penggusuran memang saja dimungkinkan untuk dilakukan pada daerah-daerah padat penduduk didekat pusat kegiatan perekonomian dan meminta mereka agar mau menjual tanah tersebut pada pemerintah guna pembangunan apartemen atau rumah susun, dan tentunya warga yang digusur akan mendapatkan ganti rugi berupa uang dan rumah susun sebagai ganti rumah mereka yang telah digusur. Dan warga yang digusurpun mendapat keuntungan dengan tidak menanggung pajak bumi dan bangunan sendirian, karena pajak akan mereka tanggung bersama – sama oleh seluruh penghuni rumah susun tersebut.

Rumah susun juga merupakan solusi atas kenaikan harga tanah didaerah pusat kota yang notabene harganya selangit. Tentunya banyak orang mengidamkan memiliki hunian ditengah kota karena berbagai fasilitas mudah dijangkau. Dengan adanya rumah susun tentu masyarakat bisa merealisasikan mimpinya tersebut karena harga sebuah apartemen atau rumah susun tentunya akan lebih murah jika dibanding dengan rumah pribadi. Selain itu pajak yang ditanggungpun akan lebih murah rumah susun karena pajak akan ditanggung oleh para penghuni apartemen atau rumah susun tersebut.

Jadi, Rumah susun memang merupakan solusi yang tepat apabila diterapkan di kota – kota besar yang menjadi pusat ekonomi seperti Surabaya. Selain itu rumah susun mampu mengurai resiko kemacetan di kota yang penduduknya sekitar lebih dari2 juta jiwa ini. Rumah susun dengan fasilitas yang baik (tak perlu mewah) adalah rumah susun yang diidamkan masyarakat kelas menengah kebawah. Dan yang perlu diperhatikan adalah pemeliharaan fasilitas itu sendiri dimana para penghuni rumah susun wajib ikut menjaga fasilitas – fasilitas yang ada guna kenyamanan seluruh penghuni rumah susun. [dan]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun