Mahameru dan Misterinya Puncak abadi para dewa, demikian sepenggal lirik yang dinyanyikan oleh Dewa 19 dalam lagunya yang berjudul Mahameru. Gunung berapi yang sering juga dikenal dengan Gunung Semeru ini secara adminidtratif terletak di Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang. Puncak Mahameru memiliki ketinggian 3676 mdpl yang merupakan puncak tertinggi di pulau Jawa. Gunung Semeru masih menyisakan berjuta misteri bagi masyarakat sekitar.  Hingga saat ini Gunung Semeru masih dipercaya oleh masyarakat Hindu sebagai gunung tempat bersemayamnya para Dewa Siwa. Dewa Siwa merupakan Dewa yang dipercaya masyarakat Hindu sebagai Dewa yang bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya. Namun, entah kenapa, Mahameru seakan berbelas kasihan pada masyarakat sekitar. Hal tersebut dibuktikan dengan berlimpahnya tambang pasir besi di Kabupaten Lumajang yang sangat berkontribusi bagi perekonomian masyarakat Lumajang. Mahameru Penyangga Perekonomian Lumajang [caption id="attachment_147330" align="alignleft" width="300" caption="Cemara Tunggal setelah Tumbang"][/caption] Turunnya banjir lahar dingin dari puncak Mahameru seakan bukan lagi merupakan bencana bagi masyarakat Kabupaten Lumajang, khususnya masyarakat sepanjang jalur lahar dingin. Banjir lahar dingin sekejap disikapi sebagai sebuah berkah dari Dewa Siwa. Menurut temuan dilapangan, memang lahar dingin sangat memungkinkan terjadi apabila puncak Mahameru diguyur hujan deras. Batas vegetasi terakhir di Semeru ditandai oleh Cemara Tunggal dan kini bisa disebut Cemara Tumbang, karena pada Tahun 2009 Cemara Tunggal telah tumbang. Setelah Vegetasi terakhir tersebut, dataran menuju puncak didominasi bebatuan besar, kerikil dan juga jutaan ton pasir yang diyakini oleh para ahli merupakan pasir besi. Sebagian besar tambang pasir berada di Kecamatan Candipuro, pasirian, dan Tempursari dan Pronojiwo. Areal bahan tambang/galian pasir dan batu bangunan seluas 82,50 ha dengan volume 5.976.625 m³.  Bisa dibayangkan betapa melimpahnya berkah yang diberikan semeru terhadap kabupaten Lumajang. Namun, hal ini tidak diikuti dengan optimalisasi dari pemerintah agar mampu mempompa kontribusi tambang pasir lebih besar pada APBD Kabupaten Lumajang. Dimana areal pasir dan batu yang baru di eksploitasi seluas 15 ha dengan volume 239.065 m³ atau hanya 4% dari kapasitas yang tersedia. Kutukan Dewa [caption id="" align="alignleft" width="298" caption="aktifitas tambang"][/caption] Dibalik melimpahnya berkah tersebut, masih menyisakan sebuah tanya mengapa Lumajang tidak mampu berbuat banyak untuk memanfaatkan limpahan tambang pasir tersebut. Jika ingin berspekulasi, hal ini bisa dikaitkan dengan resource curse yang dialami Belanda pada tahun 1959 yang terkenal dengan fenomena Dutch Disease. Pada tahun tersebut Belanda mengalami krisis karena Belanda terlalu fokus mengolah tambang minyaknya hingga mengabaikan sektor lainnya yang akhirnya membuat apresiasi yang menggelembung. Semoga hal demikian bisa diatasi oleh pemerintah Kabupaten Lumajang yang saat ini mulai mengembangkan pertambangan pasirnya. Sebuah pemikiran cemerlang telah dilontarkan dengan tidak akan menjual pasir tambang tanpa pengolahan terlebih dahulu, karena itu akan menyebabkan nilai jual lebih rendah. Masihkah Bisa Melihat Ganasnya Hutan Rimba Mahameru? [caption id="attachment_147333" align="alignleft" width="300" caption="Hutan Rimba Semeru"][/caption] Semakin berkembangnya perekonomian, akan memicu sebuah degradasi lingkungan. Tidak bisa dipungkiri lagi, puluhan hektar kawasan TN-BTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) baik sengaja atau akibat bencana mulai gundul.  Beberapa hektar lahan dikawasan Ranu Pani mulai beralih fungsi menjadi lahan kebun sayur yang selama ini menjadi mata pencarian utama masyarakat Ranu Pani. Jauh di selatan lereng Semeru eksplorasi kayu di hutan juga terus terjadi dan tak diimbangi reboisasi yang seimbang sehingga menyebabkan ambient quality menurun. Kesadaran masyarakat sekitar akan kualitas lingkungan atau ambient quality masih kurang. Hal ini perlu ditekankan lagi oleh pemerintah melalui penyuluhan maupun pendidikan agar degradasi lingkungan tidak terus menerus terjadi. Kesediaan masyarakat untuk tetap menjaga kelestarian merupakan suatu warisan yang besar bagi anak cucu mereka dimasa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H