Mohon tunggu...
Daniel Jones Bernadi
Daniel Jones Bernadi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Moody Writer :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Dampak Letusan Gunung terhadap Pemanasan Global

15 Februari 2014   14:07 Diperbarui: 25 September 2017   09:28 4006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak perdebatantentang peranan manusia dalam perubahan iklim global (Global Warming). Beberapa ahli berpendapat bahwa peranan tersebut dapat melaluipembakaran bahan bakar fosil dan pelepasan chlorofluorocarbon (CFC) gas, dan merekaberpendapat bahwa interaksi manusia menimbulkan ancaman yang lebih terhadap atmosfer bumi daripada proses alam, seperti letusan gunung berapi. 

Hal ini menjadikanpemahaman tentang peran letusan gunung berapi dalam mempengaruhi perubahan iklim global sangat penting. Apa pun sumbernya, perubahan komposisi partikel di atmosfer bumi menghasilkan tiga dampak:

Dampak terhadap Ozon Asam klorida (HCl) telah terbukti efektif dalam menghancurkan ozon namun, studi terbaru menunjukkan bahwa HCl dari aktivitas vulkanik (Volcanic Hcl) hanya samapi pada troposfer (bawah stratosfer), hal ini disebabkan oleh hujan yang terlebih dahulu mencucinya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Hcl tidak pernah memiliki kesempatan untuk bereaksi dengan ozon.Di sisi lain, data satelit setelah 1991, letusan Mt.Pinatubo (Filipina) dan Mt.Hudson (Chile) menunjukkan hilangnya ozon 15-20 %, dan 50% ozon yang hilang berada di atas Antartika.Dengan demikian, tampak bahwa letusan gunung berapi dapat memainkan peran penting dalam mengurangi tingkat ozon.

Namun, peranan tersebut tidak secara langsung karena tidak dapat secara langsung dikaitkan dengan Volcanic HCl.Partikel letusan yang dihasilkan, atau aerosol, muncul danberinteraksi dengan klorin dan bromin - senyawa dari manusiachlorofluorocarbon(CFC).Untungnya, partikel vulkanik akan keluar dari stratosfer dalam dua atau tiga tahun, sehingga efek dari letusan gunung berapi pada penipisan ozon hanya dalam jangka pendek.

Meskipun aerosol vulkanik memberikan katalis untuk penipisan ozon, penjahat sebenarnya dalam menghancurkan ozon adalah CFC yang dihasilkan manusia.Para ilmuwan berharap lapisan ozon pulih karena pembatasan pada CFC dan bahan kimia perusak ozon lainnya oleh PBB dalam Protokol Montreal mengenai Bahan yang Merusak Lapisan Ozon.Namun, letusan gunung berapi di masa mendatang akan menyebabkan fluktuasi dalam proses pemulihan .

Dampak terhadap Bertambahnya Gas Rumah Kaca (GRK)

Letusan gunung berapi dapat meningkatkan pemanasan global dengan menambahkan CO2 ke atmosfer. Namun, jumlah CO2 yang dihasilkan oleh aktivitas manusia setiap tahun masih lebih besar daripada letusan gunung berapi. TM Gerlach (1991,American Geophysical Union) mencatat bahwa CO2 dari aktivitas manusia 150 kali lebih banyak daripada CO2 letusan gunung berapi. 

Dampak kecil dari pemanasan global yang disebabkan oleh gas rumah kaca akibat letusandiimbangi olehbesarnya dampak dari pendinginan global yang disebabkan oleh partikel letusan yang dihasilkan di stratosfer (efek kabut). Pemanasan rumah kaca di bumi sangat jelas terasa sejak tahun 1980. Tanpa pengaruh pendinginan letusan seperti El Chichon (1982) dan Mt. Pinatubo (1991), pemanasan rumah kaca akan menjadi lebih jelas.

Efek Kabut (Haze Effect)

Letusan gunung berapi memiliki efek kabut lebih besar dari pada efek rumah kaca, dan dengan demikian mereka dapat menurunkan suhu global rata-rata.Menurut Gerlach, selama bertahun-tahun kontribusi aktivitas vulkanik terbesar dari efek kabut adalah ketika partikel abu tersuspensi di bagian atas atmosfer dan menghalangi radiasi matahari.Letusan 1980 dari Mt.St Helens menurunkan suhu global dengan 0.1 derajat Celcius, letusan dari El Chichon menurunkan suhu global tiga sampai lima kali lipat.Meskipun letusan Mt.St Helens mengeluarkan sejumlah besar abu di stratosfer, letusan El Chichon mengeluarkan material vulkanik dalam jumlah yang jauh lebih besar dari gas yang kaya sulfur (40x lebih).

Dapat disimpulkan bahwa volume material vulkanik yang keluarkan selama ledakan bukanlah kriteria terbaik untuk mengukur dampaknya pada atmosfer.Jumlah gas yang kaya sulfur tampaknya lebih penting.Sulfur bercampur dengan uap air di stratosfer untuk membentuk awan padat denga tetesan asam sulfat kecil.Tetesan ini memakan waktu beberapa tahun untuk menyelesaikan reaksi kimianya dan mereka mampu mengurangi suhu troposfer karena mereka menyerap radiasi matahari dan menyebarkannya kembali ke angkasa.

Contoh Dampak Pendinginan Global Akibat Letusan Gunung Vulkanik Bersejarah:Bukti pengamatan menunjukkan korelasi yang jelas antara letusan bersejarah dankondisi iklim yang dingin padatahun-tahun berikutnya.Tiga contoh bersejarah terkenal dijelaskan di bawah ini:

Laki (1783) AS timur mencatat suhu terendah yang pernah musim dingin rata-rata 1783-1784 , sekitar 4.8 derajat Celcius.Eropa juga mengalami musim dingin yang sangat parah.Benjamin Franklin berpendapat bahwa kondisi dingin itu diakibatkan terganggunya sinar matahari oleh debu dan gas yang dibuat oleh letusan Gunung di Islandia (Gunung Laki) pada tahun 1783.Letusan Laki adalah letusan terbesar di masa bersejarah.Hipotesis Franklin sama dengan teori ilmiah modern, yang menunjukkan bahwa besarnya volume SO2 adalah penyebab utama dalam kabut - efek pendinginan global.

Tambora (1815) Tiga puluh tahun kemudian, pada 1815, letusan GunungTambora, Indonesia, mengakibatkan musim semi dan musim panas tahun 1816sangat dingin, yang kemudian dikenal sebagai tahun tanpa musim panas.Letusan Tambora diyakini menjadi yang terbesar dari sepuluh ribu tahun terakhir.New England dan Eropa merasakan dampak yang cukup parah.Hujan salju dan es terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Rusaknyatanaman jagung memaksa petani untuk menyembelih hewan mereka.Dapur umumpun dibuka untuk memberi makan para orang yang lapar.Laut es meluas hingga area pelayaran di Samudra Atlantik, dan gletser Gunung Alpine bertambah hingga lereng gunung.

Krakatau (1883) Letusan dari gunung berapi Krakatau di Indonesia pada Agustus 1883, dua puluh kali lebih dahsyat jika dibandingkan letusan pada 1980 dari Mt.St Helens.Letusan Krakatau adalah letusan terbesar kedua dalam sejarah, dikerdilkan hanya dengan letusan Tambora yang merupakan tetangga dan meletus pada tahun 1815 (lihat di atas).

Selama berbulan-bulan setelah letusan Krakatau, dunia mengalami cuaca musim dingin, matahari terbenam dengan kemilau, dan senja berkepanjangan karena penyebaran aerosol diseluruh stratosfer. Matahari terbenam yang tidak biasa dan berkepanjangan menimbulkan perdebatan kontemporer yang cukup besar tentang asal usul terjadinya fenomena ini. Fenomena ini juga memberikan inspirasi bagi para seniman yang dilukiskan pada saat matahari terbenam. Beberapa lukisan abad ke-19 -an, dua di antaranya dicatat di sini.

In London, the Krakatau sunsets were clearly distinct from the familiar red sunsets seen through the smoke-laden atmosphere of the city. This is demonstrated in the painting shown here of a sunset from the banks of the Thames River, created by artist William Ascroft on November 26, 1883.

Semoga Bermanfaat.

Sources: http://www.geology.sdsu.edu (Diterjemahkan dan disesuaikan oleh Daniel Jones B)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun