Globalisasi sering digambarkan sebagai proses yang membawa kemajuan, kemakmuran, dan kesetaraan bagi seluruh dunia. Namun, kenyataannya, globalisasi justru memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin, menciptakan ketidakadilan yang semakin dalam, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir, lebih dari satu juta orang, terutama kaum muda, telah turun ke jalan untuk memprotes sistem ekonomi global yang mereka anggap tidak adil. Ini adalah salah satu gerakan protes terbesar sejak era 1960-an.
Kesenjangan yang semakin melebar :
Meskipun globalisasi diyakini mampu menciptakan kekayaan dan mengurangi kemiskinan, faktanya, kesenjangan antara negara kaya dan miskin semakin melebar. Sejumlah kecil individu dan korporasi multinasional kini menguasai sebagian besar aktivitas ekonomi global. Misalnya, perusahaan raksasa seperti General Motors dan Ford memiliki kekayaan yang melebihi PDB negara-negara seperti Denmark dan Afrika Selatan. Sementara itu, merek-merek terkenal seperti Nike, Reebok, dan Gap memproduksi barang-barang mereka di negara-negara miskin dengan upah buruh yang sangat rendah, sering kali dalam kondisi kerja yang buruk.
Di Indonesia, misalnya, buruh yang memproduksi pakaian dan sepatu untuk merek-merek global ini dibayar hanya sekitar 72 pence (sekitar Rp12.000) per hari. Upah ini bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Banyak dari mereka tinggal di pemukiman kumuh dengan sanitasi yang buruk, tanpa air bersih, dan rentan terhadap penyakit. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kamp-kamp buruh di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin lainnya, di mana tenaga kerja murah dieksploitasi untuk memenuhi permintaan pasar global.
Eksploitasi Tenaga Kerja di Balik Kemewahan Global
Indonesia, sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam seperti emas, tembaga, minyak, dan kayu, seharusnya tidak menjadi negara miskin. Namun, sejarah panjang penjajahan dan eksploitasi oleh kekuatan asing telah membuat negara ini terjebak dalam kemiskinan. Setelah merdeka, Indonesia justru jatuh ke dalam cengkeraman rezim otoriter yang didukung oleh kekuatan global.
Rezim Suharto, yang berkuasa selama lebih dari 30 tahun, membuka pintu lebar-lebar bagi investasi asing. Namun, kekayaan yang dihasilkan tidak dinikmati oleh rakyat, melainkan oleh segelintir elit dan korporasi multinasional. Rezim ini juga dikenal korup, dengan keluarga Suharto menguasai hampir seluruh sektor ekonomi, dari listrik hingga transportasi. Sementara itu, rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan, dengan jutaan orang hidup di bawah garis kemiskinan.
Peran IMF dan Bank Dunia dalam Memperburuk Situasi
Lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia sering kali dipuji sebagai penyelamat ekonomi negara-negara miskin. Namun, kenyataannya, mereka justru memperburuk situasi dengan memaksa negara-negara ini untuk menerapkan kebijakan yang menguntungkan korporasi global.
Di Indonesia, IMF dan Bank Dunia memberikan pinjaman besar kepada rezim Suharto, dengan syarat privatisasi dan liberalisasi ekonomi. Namun, sebagian besar dana ini justru dikorupsi oleh pejabat pemerintah dan elit bisnis. Menurut dokumen internal Bank Dunia, hingga sepertiga dari pinjaman yang diberikan kepada Indonesia hilang atau dicuri. Akibatnya, rakyat Indonesia harus menanggung beban utang yang tidak mereka nikmati.
Ketika krisis ekonomi Asia melanda pada tahun 1998, nilai rupiah anjlok, dan ekonomi Indonesia hancur. IMF kembali masuk dengan paket bailout, tetapi syarat-syaratnya justru memperburuk kondisi rakyat. Subsidi untuk bahan bakar dan makanan dipotong, sementara harga-harga melambung tinggi. Banyak keluarga tidak mampu membayar biaya pendidikan dan kesehatan, sementara utang negara terus membengkak.