Pilkada serentak 2018 akan segera dilaksanakan tepatnya pada tanggal 27 Juni 2018. Pilkada tersebut mencakup pemilihan gubernur dan pemilihan bupati atau walikota. Lebih detailnya, pilkada akan dilaksanakan di 31 provinsi terdiri dari 381 kabupaten/kota, 5.564 kecamatan, dan 64.526 kelurahan. Sedangkan tiga provinsi yang tidak terlibat dalam pilkada 2018 adalah Provinsi DKI Jakarta, DIY Yogyakarta, dan Papua Barat.
Menurut perhitungan KPU, pemilih potensial dalam pilkada 2018 nanti mencapai 160 juta jiwa. Lebih lengkapnya sebanyak 160.756.143 jiwa, terdiri dari laki-laki 80.608.811 jiwa dan perempuan 80.147.332 jiwa. Dari 160 juta pemilih tersebut, 10 juta diantaranya adalah pemilih pemula. Pemilih pemula adalah mereka yang sebelumnya belum pernah ikut serta dalam pemilu. Biasanya pemilih pemula ini adalah WNI yang baru saja berusia 17 tahun dan masih dalam masa sekolah.
Walaupun jumlahnya hanya 10 juta jiwa, pemilih pemula tidak dapat disepelekan begitu saja. Justru 10 juta jiwa inilah yang sering diincar oleh partai-partai politik untuk memperoleh suara. Pemilih pemula biasanya memiliki kecenderungan apatis terhadap dunia politik. Maka tak jarang pemilih pemula memilih golput, memilih ala kadarnya atau asal memilih padahal satu suara yang mereka berikan sangat berpengaruh bagi perkembangan daerah mereka masing-masing. Selain itu, pemilih pemula mau tidak mau akan menjadi penopang kehidupan bangsa dan mungkin akan terjun ke dunia politik. Kesadaran untuk turut serta dalam pemilu harus dibangun sedini mungkin.
Pemilih pemula sangat dekat dengan media sosial. Sebagian besar arus informasi yang mereka dapatkan berasal dari media sosial. Oleh karena itu, beberapa parpol yang ingin mendapat banyak suara dari pemilih pemula memiliki trik tersendiri untuk menarik dukungan dari pemilih pemula. Mau tidak mau parpol harus terjun ke dunia pemilih pemula yakni media sosial, maka tak jarang sekarang ini sering sekali kita lihat kampanye yang dilakukan oleh partai politik di media sosial seperti facebook, twitter, dan instagram. Melalui kampanye di media sosial tersebut membuat pemilih pemula semakin dekat dan semakin mengenal calon-calon kepala daerah mereka. Namun kampanye parpol di media sosial seringkali tidak terkontrol dengan baik oleh pemerintah.Â
Sehingga seringkali terdapat kampanye hitam yang menjelekkan calon lain berupa ujaran kebencian yang tidak benar (hoax) dan yang berbahaya adalah jika menjelekkan calon lain menggunakan isu SARA. Pemilih pemula yang biasanya masih labil bisa mudah terpengaruhi dengan berita-berita hoax yang ada di media sosial. Oleh karena itu pemilih pemula diharapkan bisa berpikir selektif dan tidak mudah percaya dengan berita-berita bohong. Maka diperlukan juga bimbingan dari pemerintah bagi pemilih pemula.
Namun ternyata, bukan hanya masalah hoax yang menghantui pemilih pemula. Masalah lain adalah sebagian besar pemilih pemula belum memiliki KTP elektronik. Masalah e-KTP yang tak kunjung selesai ternyata juga berpengaruh pada saat pesta demokrasi nanti. Terlebih lagi pada pemilihan presiden 2019 nanti pemilih diwajibkan untuk memiliki KTP elektronik agar bisa memberikan suaranya. Namun untuk menyelesaikan masalah tersebut, KPU telah bekerjasama dengan KPAI untuk melakukan sosialisasi sehingga pemilih pemula yang belum memiliki KTP elektronik mau menggunakan suaranya dengan baik. Sedangkan untuk permasalahan penggunaan KTP elektronik sebagai syarat untuk pemilihan presiden 2019, kemendagri sudah berjanji untuk merampungkan masalah e-KTP sebelum pilpres nanti.
Semoga dalam pilkada pada Juni nanti akan terpilih kepala daerah yang dapat memajukan daerahnya serta kita dapat melihat peran kaum muda yang semakin aktif terhadap kehidupan politik di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H