Mohon tunggu...
daniel tanto
daniel tanto Mohon Tunggu... Montir - melukis dengan cahaya, menulis dengan hati...

bekerja di institusi penelitian suka menulis, memotret, dan berfikir

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sastro Gugat Bengsin

5 Desember 2010   15:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:59 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_78651" align="aligncenter" width="300" caption="tangki bengsin bersubsidi"][/caption] Saya sedang mengelap Vespa tua saya di garasi, ketika Sastro dengan tergopoh-gopoh menyusul saya di garasi. Di tangannya tergenggam koran lokal, yang biasanya hanya berisi berita tentang pemerkosaan Mawar, Melati, dan akhir-akhir ini bintang utama beberapa kali sudah dinamai Menur. "Ngapain Tro? Wajahmu kok seperti habis lihat penampakan mahluk halus?" "Woo, ini gawat boss" "Boss.. Boss.. Mbok ya manggil aku jangan boss, wong saya bukan boss, panggil apa yang enak, mas atau apa" "Gawat mas.. Bengsin.. Bengsin.." "Hah? Apa bocor lagi tangki vespaku, Tro?" Sontak saya periksa bagian bawah motor, lho emang bocor, tapi tidak seberapa besar, menetes saja beberapa tetes dalam semalam, maklumlah, sudah uzur Vespa-nya. "Walah, juragan ini, kok malah motor rongsok diurusi tha? Ini isu nasional, pembatasan bengsin olih pemerentah" "Trus?" "Ya kan khusus roda dua mas" "Trus, kenapa?" "Ya apa mas tidak merasa dianak tirikan?" "Lah? Saya memang anak tiri negara ini. Kalau anak emas, saya sudah diberi kesempatan jadi pejabat, dan naik mobil yang tidak bersuara tapi tahu-tahu muncul di depan mata, mirip-mirip mobile mister Pemborong itu, Tro" Sastro manggut-manggut, tiba-tiba seperti tersengat listrik, Sastro mengangakan mulut lagi. "Tapi mas, kan motor itu bengsin-nya paling irit? Masa malah dibatasi?" "Sepeda malah bahan bakarnya nasi pecel, Tro. Kalau di jalanan juga dipepet-pepet bis, tanpa penghargaan dari pengguna jalan lain. Sudah biasa, Tro, kalau cuma ironi kelas teri itu terjadi di negara ini" "Lha tapi kenapa bukan mobil yang besar-besar, tapi cuma dimuati satu kadang dua orang itu yang dibatesi, mas? Kan itu jelas tidak efisien? Jelas pemborosan, jelas pameran harta saja, wong saya lihat sendiri, misal mas Tombro, temen jenengan itu, kalau main ke rumah bawa Tayata Alparad itu, kan cuma sendirian? Kenapa tidak naik motor, atau sepeda, atau paling tidak cukup bawa mobilnya yang kecil saja. Lha wong ya cuma dekat sini rumahnya" "Ya biar tha? Lha dia bisa beli, masa tidak boleh naik? Bensinnya juga tidak minta sampeyan. Mas Tombro beli sendiri. Kok sampeyan yang repot?" Saya tetep menggosok-gosok Vespa saya, omongannya Sastro kok selalu saja soal perbedaan kelas dan menyenggol-nyenggol masalah politik, batin saya. Apa ini yang disebut suara rakyat? Lha kok ga enak didengar ya? Jauh lebih sedap mendengarkan lagunya Sherina sambil ngopi di ruang keluarga. "Ya sudah mas, kalau jenengan sudah terima, nanti kalau seminggu cuma bisa isi bensin 4 liter bagaimana? Apa jenengan mau menuntun kyai Rongsok alias Pespa jenengan?" "Kyai Rongsok! Lama-lama anda itu ngawur! Iki barang klasik, bukan rongsokan! Dasar tidak punya selera. Kalau dibatasi bensinnya? Ya kan masih ada sepeda tha? Saya mau naik sepeda. Malah enak, sehat, tidak polusi, irit, dan sesuai Pancasila" "Mas, mosok jenengan lemes saja? Tidak berapi-api menanggapi ini?" "Lho, ini masalah bensin kan? Kalau ditanggapi berapi-api kan bahaya, nanti kebakaran. Sudah sana, kamu mendingan beli gudeg tempe, buat sarapan kita" "Ya wis, sini mas, sini saya bawa Pespa-nya" "Lho? Jangan, nanti boros bensin, lha bakul gudeg cuma di ujung jalan situ, sana jalan kaki, atau sepedaan. Tadi sampeyan ngeritik mas Tombro naik mobil, sekarang malah mau naik Pespa ke ujung jalan. Jadi orang yang sesuai anjuran, jangan omong thok! Sana jalan kaki! Enak saja minjem-minjem. Mas Tombro yang punya sendiri saja sampeyan kritik habis-habisan! Ini malah mau minjem!" Sepeninggal Sastro saya mulai berpikir, sebenarnya ini memang aneh. Kenapa bukan bahan bakar dijual oleh pemerintah sesuai dengan status sosial kendaraan yang membelinya saja? Kan bisa saja mulut tangki mobil-mobil mewah disegel, menjadi lebih kecil sehingga tidak bisa diisi dengan corong bensin biasa, walaupun ada celah, misal dengan memasang adapter sehingga bisa diisi bahan bakar bersubsidi, tetapi minimal nanti akan ada budaya malu, dan juga kontrol dari masyarakat. Sehingga lama-kelamaan mobil-mobil mewah bermesin besar itu punya antrian tersendiri dan malu untuk membeli bahan bakar bersubsidi. Selagi saya mikir-mikir, Sastro sudah muncul lagi di garasi. Bawa 2 piring dan bungkusan gudeg. Tidak lupa dua gelas teh panas agak manis, seiring dengan umur dan mahalnya harga sembako, kami mencanangkan gerakan "1 sendok saja", yang artinya segelas kopi atau teh, cukup pake gula sesendok, sedekar supaya tidak pahit-pahit amat. Malah Sastro sempat membuat lagu yang judulnya: Pahitnya Kopi Tak Sepahit Lidahmu. Maksudnya apa? Tanya sama yang mengarang, bukan saya yang mengarang lagu. Satu-satu keahlian saya mengarang, hanyalah mengarang alasan. "Tidak naik kan harganya, Tro?" "Nggak mas, cuma tempenya sekarang sudah kayak foto model, langsing-langsing, tipis-tipis" "Disyukuri saja, malah kita jadi tambah nikmat makannya, coba kalo gedhenya tempe sebesar bantal, kan repot makannya, dan tidak meresap bumbunya" "Halah! Mas ini, dulu pas dari ayam pindah telur, bilang: kan telur ini malah kalau jadi ayam sudah utuh, jadi 1 telur itu sama dengan makan ayam utuh! Trus pas dari telur ganti tempe, mas juga bilang: ayam dan telur kan penuh kolesterol, nanti kita kalau sakit siapa yang ngurus? Mendingan makanan sehat saja, protein nabati, tempe tahu! Sekarang juga masih saja membela tempe langsing ini!" Saya tidak menjawab, rasa lapar semakin naik, seiring bungkusan dibuka. Harum nasi panas yang mematangkan bungkusnya, yang berupa daun pisang, seperti hipnotis buat hidung saya. Setelah dibuka daun pisangnya, bau sangit dari gudeg, bau cabe yang pedas, bau khas lain yang susah didefinisikan itu, menyergap saya. Membuat saya ingin segera menyantapnya. Sesedok demi sesendok, didorong dengan teh agak manis, benar-benar nikmat. Jebakan cabe utuh di sela-sela gigitan, membuat sarapan ini semakin mengobarkan semangat dan membuang kantuk. Sastro juga sudah diam, menikmati nasi gudegnya sendiri. Sesuap demi sesuap, tanpa berkata-kata. Matanya sudah adem, tenteram. Suara rakyat yang katanya juga suara Tuhan itu sudah berhasil diredam, tidak susah, cukup hanya dengan sebungkus nasi gudeg tempe seharga Rp.3.000 rupiah saja. Hidup demokarasi! Catatan: Artikel ini saya buat ketika issue atau wacana dari pemerintah, akan adanya pembatasan pembelian bensin untuk kendaraan roda dua. Sepertinya sekarang wacana bergerak ke arah larangan pembelian bensin bersubsidi untuk kendaraan roda empat berplat nomor hitam. Saya pikir itu sudah tepat. Sepertinya sudah, semua selalu sepertinya.. Epilog: Kejadian ini hanya khayalan saya saja, tidak mungkin terjadi di negeri seindah ini. Disuatu siang panas bolong, saya dan Satro sedang mengantri bensin di salah satu pom bensin di negri yang indah ini. Di mesin pompa samping kami, khusus untuk pembelian kendaraan roda 4 non subsidi. Sebuah mobil station wagon tanpa moncong dengan tahun pembuatan 1980-an tertatih masuk membawa sayuran. Sepertinya dipakai petani untuk membawa dagangan ke kota. Karena plat hitam, jelas non subsidi. Sekonyong-konyong, ketika wagon tua sedang diisi bensinnya, sebuah jaguar seri coupe alias berpintu dua, buatan tahun 2010, masuk, dan mengisi di sebelah si station wagon. Kapasitas mesin Jaguar jelas besar, mungkin 4xlipat mesin si wagon, dan dengan kapasitas angkut: 2 orang + segudang ego. Dengan harga yang sama mereka membayar. Sepertinya, ini memang negri yang penuh keadilan, dimana semua yang beroda empat, dilarang mendapatkan subsidi. Saya jadi mikir, jika saya naik roda tiga? Di manakah antrian bensin saya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun