Mohon tunggu...
daniel tanto
daniel tanto Mohon Tunggu... Montir - melukis dengan cahaya, menulis dengan hati...

bekerja di institusi penelitian suka menulis, memotret, dan berfikir

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sex, Lies, and Yellow Rice

19 Februari 2010   05:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:51 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_77284" align="aligncenter" width="500" caption="nasi kuning dipersenjatai telur dadar dan tempe mendoan"][/caption] Pagi itu saya sedang membolak-balik koran, ketika ada suara suara seseorang mengendap-endap dari dalam rumah. Saya menurunkan koran. Nampak Sastro, sang punakawan, sedang membawa teh untuk disajikan kepada saya. Tumben sekali, wajahnya nampak serius dan murung, tidak seperti biasanya. Wajah ceria dan jenaka bisanya dipasang di pagi hari. Tetapi hari ini setting wajahnya beda sekali. "Kenapa Tro?" Sastro masih diam, dengan khikmad dia menurunkan teh panas manis kental ke bale bengong raksasa yang saya tongkrongi. "Tapa Bisu, Tro?", tapa bisu adalah bertapa/puasa tidak bicara. "Mboten, tidak mas" "Lha kok wajahmu sendu? Kayak artis dangdut yang digampar suaminya". Rupanya kata "artis dangdut" mencetak skor. "Ah, kalo artis itu belum digampar sudah sendu mas, wong sambil goyang saja sendu" "Lah, terus ngapa kamu pasang wajah begitu?" "Anu mas, saya tidak enak omongnya" "Lha ada apa tha?", saya jadi penasaran. "Gimana kalau saya bisiki saja?" "Wegah! Kamu belum sikatan mau bisik-bisik, sudah tidak waras ya?" "Hehhe, anu mas, berasnya habis" "Gombal tenan, tak pikir apa" "Lha kan janengan belum beli?" "Ya sudah makan nasi aking saja!" "Wooo.. Jangan mas, wong nasi aking itu makanan jendral yang mencalonkan diri jadi presiden, kok saya disuruh makan itu?" "Ngawur tenan! Lha terus maunya bagaimana?", sembari saya menutup wajah dengan koran lokal yang isinya berita santet dan klenik terus-terusan ini. "Lha ada baiknya jenengan ngajak saya jajan, jalan-jalan, kuliner, kayak pak. Bondan di tipi itu" Saya pura-pura tidak dengar, tanggal tua kok ngajak kuliner, bener-bener sikap kurang menghayati "sense of crisis". "Gimana mas?" "Apanya?" "Ya sarapan outside" "Sarapan bola sepak apa? Sarapan outside itu istilah apa lagi!" "Mangan njaba mas, makan di luar, saya bosen makan di rumah terus" Saya mikir, bener juga, jarang juga saya ngajak si Sastro ini makan di luar. Sebenarnya saya juga jarang "berkuliner", saya jajan karena kepepet saja, dan sengaja milih yang harganya murah-murah, sesuai kantong saja, karena honor motret dan desain yang kurang menentu. "Ya wis, sana. Siapke kereta kencana!" Pendek kata, beberapa menit kemudian saya sudah melaju berboncengan Vespa membelah kepadatan kota Yogya ini. Saya sengaja lewat gang-gang dan jalan-jalan tikus saja, sudah bosen dipepet angkot dan bis, lha bis Trans Jogja yang katanya bakalan santun dan jenaka itu saja, sekarang sudah ada gejala pepet-pepetan. Setelah menelan beberapa kubik asap solar dan menembus berbagai polisi tidur, beberapa saat kemudian saya dan Sastro sudah sampe di warung tenda langganan saya. Di warung tenda yang sederhana ini saya dan Sastro berhenti. Awalnya saya menemukan warung ini tidak sengaja ketika jalan kaki di seputaran belakang Universitas Negeri Yogyakarta, berhubung rasa nasi kuningnya enak, dan harganya bersahabat, maka saya menjadikan warung tenda ini menjadi salah satu yang masuk list sarapan saya. Sastro tampaknya agak sebel. Mau kuliner kok malah dihentikan di warung yang sexy ini. Kenapa sexy? Karena jika orang makan, hanya tertutup badan saja, betisnya masih terekspos  jelas dari jalanan. Melihat raut wajahnya saya langsung menukas, "Tidak usah komentar, mau makan apa?" Sastro belum siap, masih melihat2 etalase makanannya. Saya memesan nasi kuning lengkap, lauk telur dikawal tempe mendoan. Sastro masih melihat-lihat sembari menelan ludah beberapa kali menatap sambal yang mlekloh dan lauk pauk lainnya. "Terserah kamu Tro, wis kana kamu mau apa" "Siap mas!", wajahnya sungguh ceria. Saya memulai makan, sambil membaca beberapa email yang masuk via blackberry saya. Tak lama kemudian sastro duduk di sebelah saya, membawa piringnya yang menggunung dan dua teh panas. Diatas gunungan nasi kuningnya ada telur dan paha ayam, wah, memanfaatkan semaksimal mungkin kesempatan ini rupanya. "Wuh! Terus digas pol ya Tro?" Sastro cengengesan, rada malu tapi sudah hapal saya dengan gelagatnya, maka saya segera menukas, "Sudah ngeyelnya, makan saja dulu!" Kami lalu makan, ditengah asyiknya saya dan Satro makan, datang seorang gadis, umur sekitar 20th-an, wajah lumayan, kulit cukup cerah, body sedap dipandang, dan rambutnya panjang berponi ala artis Jakarta. Tetapi bukan itu saja yang menarik saya dan Satro, tetapi juga pakaiannya itu, kaus kedombrongan tipis tapi pendek sehingga tiap kali menunjuk tempe mendoan terangkat, dan celana pendeknya yang super pendek, lebih pendek dari celana tennis, ini mirip celana adiknya salah ambil tapi tetap dipakai. [caption id="attachment_77290" align="aligncenter" width="500" caption="karena gambar paha termsuk dalam kategori pornografi, maka vespanya saja yang saya tampilkan disini"][/caption] Saya menyenggol Sastro yang sudah agak kebangetan melongonya, saya khawatir jika diteruskan bisa-bisa Sastro mimisan, menahan gejolak yang 31th belum tersalurkan. "Makan!", bisik saya tapi tegas. Sastro segera melanjutkan menggali gunungan nasi kuningnya. Saya sendiri sudah hampir selesai makan, mengingat porsi saya tidak ada 1/3nya Sastro. Dengan gemulai si Gadis duduk di meja depan kami tetapi membelakangi kami, saya dan Sastro jadi aman dan bebas memandanginya dari belakang. Rupanya dia sudah kenal dengan pelayan warung ini. Sembari makan dia omong sana sini, soal macam-macam. Tiba-tiba ada satu percakapan yang membuat saya dan Sastro hampir tergigit lidahnya. "Lama ngga keliatan, mbak?" "Iya mas, saya nginep di kost pacar saya" Si mas yang jual wajahnya biasa saja, seperti mendengar berita wajar saja. "Wah, seneng dong" "Iya dong mas" "Pacar mbak yang dulu jemput di depan itu? Yang naik motor cowok?", motor cowok itu motor sport alias motor pake tangki di depan. "Eh, engga lah yaw, yang naik Hando Setrim. Cowoku yang di Yogya ada dua mas, yang satu naik Hando Setrim yang satunya naik Tayoto Ivanka" "Oh... Saya seringnya liat mbak dibonceng motor Hando LG Pro" "Ah mas ini, aku kan ngga boleh naik motor sama papaku" Si Mas manggut-manggut. "Eh mas, aku seneng lhoo, cowoku yang di negara Labenda mau dateng, itu lho, yang sekolah di luar negri" "Wah, kapan mbak? Nanti mbak diajak kesana?" "Engga dong mas, paling nanti dia berlibur sama aku" "Mau ke mana?" "Katanya seh pengen ke Puerto Rico tempat asalku", sebagai catatan, Puerto Rico di sini adalahPurwokerto dalam bahasa gaul. "Asyik dong mbak" "Iya dong, nanti aku ditemeni kalo pulang kesana. Abis itu jalan-jalan nginep di deket-deket sana" Dari cerita di atas saja saya dan Sastro langsung bisa menghitung ada tiga "pacar"nya dan dia suka inap menginap dengan pacar-pacarnya. Sastro tampak melirik-lirik paha si Gadis sambil menyuap nasi kuningnya yang sudah dingin. Saya juga belum mau pergi, menarik sekali pergaulan si Gadis ini, benar-benar rileks tanpa beban bercerita tentang dirinya. Si Gadis tetap bercerita dengan bersemangat, dimana diceritakan olehnya kehidupan dirinya yang cukup "gemerlap" dan pacarnya yang banyak, sesekali dia menggoyang-goyangkan tangan dan kakinya, yang menyebabkan kausnya yang tipis dan menggantung juga celana pendeknya yang kekecilan semakin terangkat. Kami berdua bagaikan mendapat hiburan gratis, cerita yang menarik, sensual, dan atraksi sedikit buka-bukaan. Benar-benar pagi yang sedap, sarapan yang sehat buat jasmani dan rohani kami. Setelah beberapa lama si Gadis membayar makannya, dan kami juga membayar makanan kami. Sepanjang perjalanan tampaknya saya dan Sastro berimajinasi sendiri-sendiri. Gadis semuda itu sudah panjang catatan petualangannya. Mengagumkan sekaligus memprihatinkan. Setelah kami berhenti sebentar membeli belanjaan, akhirnya kami sampai juga di rumah, mendamparkan diri di bale bengong, saya menunggu komentar Sastro. "Mikir apa?" "Hehe, sexy ya mas" "He eh" "Itu yang dinamakan pergaulan bebas ya mas?" "Wah, saya kurang tahu, Tro. Kenapa tidak tanya sendiri tadi sama yang bersangkutan?" "Woh, bisa ditampar saya mas" "Nah makanya, saya juga tidak berani mendefinisikan pergaulan bebas itu seperti apa. Siapa tau si Mbak tadi juga cuma nginep tidak berbuat tidak senonoh. Cuma seneng jalan-jalannya, kan kita juga tidak bisa nuduh begitu saja" "Ya tidak mungkiiin, mas" "Apa tha yang tidak mungkin di dunia yang makin ajaib ini, Tro?" Saya dan Sastro kembali berkelana dalam alam pikiran masing-masing. "Tro, kamu tadi sarapan pahanya tiga tha? Kok rakus?" "Woh, nuduh mas ini. Saya ambil satu paha saja mas! Sama telor bunder satu!" "Tidak, kamu tadi sarapan tiga, satu paha ayam dan dan yang dua paha si Mbak tadi, total tiga!" Sastro ketawa,"Lha jenengan juga katanya pengen jadi vegetarian, kok tadi juga ikut sarapan paha walau sedikit-sedikit?" Kami ketawa bersama, benar-benar dunia yang absurd.

cerita sastro yang lain:

http://www.kompasiana.com/tag/sastro/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun