Mohon tunggu...
daniel tanto
daniel tanto Mohon Tunggu... Montir - melukis dengan cahaya, menulis dengan hati...

bekerja di institusi penelitian suka menulis, memotret, dan berfikir

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sastro @ngGembira Loka

28 Desember 2009   06:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:44 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_44598" align="aligncenter" width="500" caption="Foto"][/caption]

Hampir malam di Yogya,  saya sedang berbincang bersama DR Wiro ST PhD di pendopo rumah, sibuk memperdepatkan masalah budaya dan sosial. Sebenarnya kami ini membuang waktu saja, lha yang kompeten dengan budaya saja belum tentu membahasnya di akhir pekan seperti ini. Heran juga, kenapa kadang-kadang menteri olahraga bukan olahragawan atau orang yang pernah menjadi profesional bidang olahraga, menteri sosial bukan dari pejuang kemanusiaan, menteri budaya bukan dari kalangan seniman, dan masih ada banyak contoh lainnya. Kami sejenis itu juga. Kami berdua berpura-pura menjadi manusia yang kompeten dalam seni dan budaya, padahal yang satu bujang lapuk berprofesi fotografer dan yang satunya lagi dosen teknik yang tidak pernah bersekolah seni dan bahkan kecanggihan selera seninya sangat diragukan.

Di tengah serunya diskusi kami tentang menurunnya minat orang Indonesia untuk berwisata di kotanya sendiri, tiba-tiba muncul Sastro, menaiki vespa saya, dan membawa banyak bawaan. Sastro menstandarkan vespa saya (vespanya minjam paksa dari saya) dan menurunkan bawaannya, ada rantang, tikar, botol bekas air mineral, dan beberapa kantong plastik yang kurang jelas isinya. Dengan gaya kethoprak yang khas, dia segera menghampiri Wiro, "Eh, Mas Dosen, njanur gunung, kadingaren, tumben, mampir sini, apa sudah tidak ada kerjaan di ngluar negri?". " Kangen apa, Tro?" ujar Wiro. "Ya jelas, wong oleh-olehnya Mas Dosen itu mantep-mantep". Saya jadi malu, dasar tidak sopan, masa belum-belum udah bicara oleh-oleh? Tapi dalam hal ini saya jujur juga berharap oleh-oleh, lha wong Wiro ini baru balik dari Amerika jeh. USA gitu.

Wiro wajahnya masih rada gonduk, mangkel, bin geram, lha yang dikangeni cuma oleh-olehnya. Wiro mencoba menyabarkan diri dan membelokkan pokok masalah,"Dari mana, Tro?". Sastro tampak bungah dan ceria ditanya, sampai dia lupa belum dapat oleh-oleh."Anu, Dok, saya habis dari ngGembira Loka".

[caption id="attachment_44574" align="aligncenter" width="500" caption="jalan masuk ke arah sungai yang membelah gembira loka"][/caption]

"Oh, tilik simbah toh, Tro?", goda Wiro. "Enggak, simbah saya di Wonosari sana", heran si Sastro. "Maksudku sampeyan kan turunan badak, kulitnya tebel dan nggak punya malu, jadi nenek moyangmu itu pasti badak Gembira Loka sana!", terjang DR Wiro. Sastro merengut, "Bisa-bisane, panjenengan itu omong begitu, lha wong saya ini masih punya malu, cuma minta oleh-oleh saja kok terus di badak-badakkan. Panjenengan kan juga sering minta minum dan suguhan toh kalau rawuh ke sini, wajar toh, Mas Dosen?". Woh, lha ini dia, perang dimulai. Lebih menarik daripada nonton sinetron. "Weh, punggawane jenengangan iki loh, Mas. Sudah mulai mbalela, mau makar, seperti yang dilakukan dulu sama Mas, kan neka-neka mau menggugat ngAsem dipindah toh?" omel Wiro. "Wis, sudah Wir, njenengan juga nggak usah nanggepi, wong sudah sekolah adoh-adoh ke negeri antah berantah masih saja mau ngajak debat mantan supir andong", saya berusaha menengahi. Sastro segera saya suruh membereskan bawaannya dan ke belakang membuat kopi. Daripada suasana makin panas.

[caption id="attachment_44575" align="aligncenter" width="400" caption="sungai yang membelah BonBin Gembira Loka"][/caption]

Sepeninggal Sastro, Wiro ternyata masih penasaran kegiatan Sastro tadi, "Lha, kenapa pula si Sastro ke kebun binatang?" "Biasa toh Wir, kan saudaranya datang dari desa, liburan akhir tahun, terus dolan ke Gembira Loka, mau lihat binatang dan piknik bawa rantang-rantang tadi"."Dasar ndesit", gumam Wiro.

[caption id="attachment_44576" align="aligncenter" width="500" caption="kapal-kapalan di danau"][/caption]

Sastro datang membawa baki dengan 3 gelas kopi besar-besar."Lho, kok tiga, Tro? Apa Pak Doktor mau minum 2 gelas? Iki guedhe-guedhe gelasnya, bisa salah dosis kita. Saya pernah diceramahi Nyonyah-e Wiro pas lihat gelas kopi saya dulu. Sampe sekarang masih dendam lihat gelas kopi raksasa ini". Sastro mengambil posisi duduk sambil menjawab, "Yang satu buat saya, soale perdebatan saya dengan Mas Dosen belum selesai"."Walah, ngopo toh? Kenapa? Sudahlah. Ini mbok Pak Doktor didongengi Gembira Loka saja. Dia pengen tahu seperti apa Gembira Loka sekarang".

[caption id="attachment_44578" align="aligncenter" width="500" caption="runtuh akibat gempa Mei 2006"][/caption]

"Yang bener, Mas? Kan njenengan sudah pernah ke Kebon Binatang yang besar-besar di manca negara, katanya pernah ngasih makan dinosaurus di San Diego Zoo?" balas Sastro."Kowe iki ‘Tro, kalau omongan kok pedes terus? Selalu saja memanaskan hati, sudah sini, sudah dijatah kopi sekarang ngoceh, jangan cuma mencela saja". Sastro langsung menganga, mau menumpahkan kata lagi, tapi dengan sigap DR Wiro mengambil jurus pamungkas,"Tak undangkeke bojoku, tak-panggilin istriku, kalau sampeyan cerewet terus!". Sastro dan saya langsung diam. Memang mboten mawon, jangan sampai berurusan sama istri Doktor satu ini. Istrinya juga Doktor, sama panjang gelarnya, tapi jauh lebih pedes dan dengan background sekolah yang dimana-mana itu, maka kapasitas saya dan Satro sangat tidak mumpuni buat menelikung ucapan Ny. Wiro. Senyap sesaat dalam kengerian, tiba-tiba kami dikejutkan suara seruputan kopi. Weh, Sastro malah sudah minum duluan. Betul-betul orang ini ora jowo. "Kok ora tamu duluan toh ‘Tro? Malah sampeyan sudah srupat-sruput?", kaget saya."Lha, pun biasa, sudah biasane nggak dipersilahkan sudah minum sendiri toh, Pak Doktor?", alasan Sastro. Wiro diam saja, nyruput kopinya, saya diam juga, ikut nyruput kopi. Damai sesaat.

[caption id="attachment_44580" align="aligncenter" width="500" caption="kayak Titanic di sore hari"][/caption]

"Saya mau cerita ini, bagi-bagi pengalaman sesudah dari ngGembiro Loko (yang benar: Gembira Loka = tempat bersenang-senang), itu lho Dok, kebun binatang, mungkin dulu sekali njenengan pernah ke sana", saya dan Doktor manggut-manggut."Trus piye ceritane?", Sastro pun dengan gembira mendongeng kepada kami, kepergiannya tadi karena diajak saudara-saudaranya lihat binatang di Gembira Loka.

[caption id="attachment_44600" align="aligncenter" width="500" caption="Kangguru"][/caption]

Gembira Loka adalah satu-satunya kebun binatang di DIY, dan letaknya di daerah selatan kota. Seingat saya sewaktu kecil tempatnya cukup besar, dilewati sungai dan ada sebuah danau dimana di tengahnya terdapat bangunan yang dibuat mirip dengan kapal. Di dalam ruang kapal tersebut terdapat beberapa hewan mantan penghuni bonbin yang sudah mati, kemudian diawetkan dan di masukkan kota kaca. Menurut saya sih, bentuknya agak "mengerikan" mata kelerengnya seperti menatap dengan beku dan aneh.

Saya sendiri sudah lama sekali tidak mengunjungi bonbin ini, karena mungkin bonbin ini hanya sekali lihat dan tidak ada publikasi penambahan hewan baru. Satu-satunya publikasi yang sering saya lihat hanya acara dangdut yang digelar tiap lebaran di sana. Ada satu kejadian yang saya benar-benar ingat sewaktu saya SD, seekor kudanil bernama (kalau tidak salah) Kliwon atau apa menewaskan pawangnya. Sesudah kejadian itu saya tidak pernah lagi mendengar apa-apa mengenai bonbin itu. Tapi apakah kemudian bonbin tersebut "mati"? Tentu tidak, tidak banyak pesaing yang berani masuk ke bisnis kebun binatang, dan Gembira Loka tetap menjadi salah satu tujuan bis-bis darmawisata sekolah. Pengunjung tetap berjubal terutama di waktu liburan. Saya yakin Gembira Loka akan tetap eksis, walaupun tanpa publikasi sekalipun.

[caption id="attachment_44604" align="aligncenter" width="400" caption="onta"][/caption]

Kembali ke dongeng Sastro. Dia dan saudara-saudaranya ternyata sangat enjoy ke Gembira Loka, melihat binatang dan melihat reaksi anak-anak ketika melihat binatang ternyata resep ampuh menghilangkan stress. Dengan tiket yang menurut Sastro lumayan mahal yaitu Rp.12.000/orang, maka mereka mendapatkan pengalaman baru menjelajahi dunia fauna."Sayange Mas, kok sekarang sudah mulai rusak ya? Niki coba lihat” Sastro mengeluarkan HP-nya dan mulai berusaha membuka file-file fotonya. Wiro mendapat bahan untuk mulai menyerang lagi, “Weh lha kok ampuh tenan HP-mu, ‘Tro? Bisa untuk motret segala toh?” Sastro tidak menggubris karena masih sibuk mencari fotonya, “Pripun Mas, lupa je saya, gimana caranya nyari potret-potretnya … menu … njuk gimana Mas?” Diiringi tawa Wiro, saya bantu Sastro mencari foto Gembira Loka yang ingin dipamerkannya pada kami. “Gak dicatet di notesmu, ‘Tro?” tambahan bahan buat Wiro. Tapi Sastro tidak mempedulikannya karena dengan semangat menggebu mulai bercerita tentang foto-fotonya.

[caption id="attachment_44583" align="aligncenter" width="500" caption="komodo, bersandar saja"][/caption]

Niki dipirsani Mas, lihat ini … Dinosaurusnya itu sudah lemes, nyender loyo di tembok”. Wiro melongok ke HP Sastro. “Dinosaurus? Binatang apa toh ini?” gumamnya. Kali ini Sastro langsung terjang tanpa ampun, “Jarene lulusan luar negeri, katanya lulusan Amerika, lha kok nggak tahu komodo … jan-jane njenengan itu sekolah beneran apa nggak toh di Amerika? Gek-gek mung dugem” Wiro langsung membalas, “Lha wong kayak ban nggembos begini, siapa mengira ini komodo? Komodo itu karnivora, ‘Tro, makannya daging segar berdarah-darah, harusnya kan sangar, gagah, nggak ngglumprut begini”. Sastro menepuk-nepuk bahu Wiro, “Takaturi priksa nggih Mas Dosen, komodo kalau sudah mau bunuh diri ya seperti ini bentuknya … apa nggak diajari diUnipersitas? Jare lulusan ngAmerika kok ora ngerti gejala komodo nek wis kepengen mati” Wiro sudah siap menyambar lagi, tapi foto berikutnya di HP Sastro mengalihkan perhatiannya.

[caption id="attachment_44586" align="aligncenter" width="500" caption="g a j a h"][/caption]

Sastro melanjutkan reportasinya, “Gajah-gajah itu pada mau jadi peragawati Mas, kurus-kurus, kaya tontonan-e Mas-e di Fashion TV” (tak jewer tenan orang ini). Saya siap membantah tapi Sastro tidak memberi kesempatan. “Macan cuma tiduran di kandang, dan beberapa kandang malah tidak kelihatan penghuninya", beber Sastro. “Tidak ada tambahan hewan baru toh, ‘Tro?” desak Wiro. Sastro memandangi Wiro dengan ekspresi ‘jan-jane lulusan kuliah tenan opo ora toh iki?’ sambil menyahut, “Oooooooo buanyak tambahannya Mas Dosen …. Ini saya sudah kenalan tadi,” katanya sambil menunjukkan lengannya, memperlihatkan bentol-bentol bekas digigit nyamuk, “koleksi nyamuk-e nambah buanyak, luar biasa, Mas!”

Menurut Sastro pula, kondisi kandang sangat memperihatinkan.beberapa sudah retak-retak, kapal yang di tengah danau juga sudah roboh ketika terjadi gempa besar di Yogya beberapa tahun lalu. Pekerjaan pengecatan juga seperti asal-asalan, dan kurang memenuhi estetika (soal estetika ini jangan ditelan mentah-mentah karena ini opini Sastro, bukan pakar interior/exterior desain). Pokoknya Sastro sebenarnya masih senang dolan ke sana, tapi menyesalkan kenapa malah kondisinya kurang terawat.

[caption id="attachment_44590" align="aligncenter" width="500" caption="kandang Orang Utan tapi ngga keliatan orang utannya, kemungkinan sudah tidur.."][/caption]

Saya dan Wiro cuma diam, lha kami memang sudah terlalu lama tidak ke Gembira Loka, membayangkan saja sudah sulit."Piye kok meneng wae? Gimana, Wir? Panjenengan ada opini?", tanya saya. Wiro yang sedang bersembunyi di balik gelas raksasa kopinya, nampak terkejut,"Kok terus opini? Lha ini cuma dongengnya Sastro, apa harus dianalisis dan dibahas? Belum lagi, kalau sudah masalah kritik dan saran kok njuk pada lihat ke saya? Lha saya ini Dosen Teknik, tidak ada hubungannya dengan binatang maupun kebun binatang. Jadi saya tidak terlibat dalam hal ini!", Wiro melancarkan jurus cuci tangan."Lha napa toh, Wir? Kan saya juga enggak suruh bagaimana-bagaimana, mung tanya, cuma takon, ada opini atau tidak. Tinggal dijawab, tidak ada Mas.. wis rampung, sudah selesai. Kok malah kayak orang dituduh korupsi dan lain-lain, sudah membantah sekuat-kuatnya", balas saya. Wiro jadi diam, Sastro diam, Saya diam, kami diam, persis kayak Macan India di kandang Gembira Loka. Masih tersirat sisa-sisa kegagahan, keindahan, keganasannya, tapi sekarang dikurung dalam kandang yang sempit dan kurang terawat, sama, kami cuma bisa diam. (diam-diam pula Sastro mengambil sebatang rokok saya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun