Kebiasaan untuk mendapatkan prestasi instan juga menjadi karakter yang khas bagi suporter di Indonesia. Itu terlihat dari banyaknya pelatih yang dipecat di awal musim kompetisi. Seperti di Liga 1 tahun ini.Â
Baru pekan ke tujuh, sudah 5 pelatih yang dipecat. Sampai pekan ke 11 dimana paruh musimpun belum, sudah ada 7 pelatih yang menjadi korban tuntutan instan para suporter. Ini lucu sekaligus mengerikan. Tidak pernah terjadi di kompetisi olahraga manapun di dunia ini.
Ekspresi kekecewaan yang salah terhadap tim yang didukung juga sering sekali justru membuat rugi suporter itu sendiri dan tim yang didukungnya. Contohnya, PSPS tidak lagi melanjutkan laga Home di Pekan baru, dan memilih home base jauh dari Pekan baru akibat ulah suporternya yang merusak fasilitas stadion setelah PSPS kalah melawan PSMS.Â
Persebaya harus memainkan 5 laga Home tanpa penonton juga karena ulah suporternya, dan masih banyak klub lagi yang terbebani akibat ulah suporter setelah mendapakan sanki dari Komdis PSSI termasuk sejumlah uang denda. Â
Sudah keharusan suporter harus berbenah dari kejadian ini. Mendukung tim secara bijak. Nilai-nilai Olahraga seperti sportifitas dan respect bukan hanya harus dimiliki pemain melainkan suporter juga. Mengekpresikan kekecewaan tanpa merugikan orang lain apalagi sampai terjadi tragedi. Berpikir rasional, kalau-kalau membuat kerusuhan, klub yang didukung akan mendapat hukuman. Pada akhirnya bukan lagi mendukung, tapi membebani klub.
Biarlah tragedi ini menjadi tamparan keras untuk para "suporter rusuh" yang selamat dari berbagai tragedi, dan semoga para orangtua tidak membenci sepakbola. Wassalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H