Artinya, salib itu membawa pada iman, pengharapan, dan kasih atau malah sebaliknya menuju pengingkaran-khianat, keputusasaan tak berpengharapan, dan kebencian-penolakan kasih. Â Kalau salib itu membawa pada iman, harapan, dan kasih, tentu itu berasal dari Yang Ilahi sendiri, sumber segala yang hidup.
Kesengsaraan dan wafat (seperti digambarkan dalam peristiwa salib secara gamblang) sepertinya sudah menjadi nasib manusia.  Ini digeluti secara khusus dalam eksistensialisme. Setiap orang akan mengalaminya. Ketakutan akan ketiadaan eksistensial (Angst, meminjam istilah Martin Heidegger) betul-betul nyata.Â
Kisah sengsara dan Jalan Salib Yesus, membantu orang menghadapi ketakutannya dan memberi makna bahwa Tuhan tetap menyertai sekalipun dalam kegelapan yang paling gelap dan memberi pengharapan akan terang dan kehidupan. Ini semua semata-mata karena kasih Tuhan.
Hukuman Salib
Salib pada zaman Romawi adalah hukuman yang paling hina di antara hukuman-hukuman lainnya yang memang sengaja dipertontonkan sebagai suatu hiburan bagi rakyat Romawi sekaligus peringatan keras terhadap pemberontakan dan kejahatan serius lainnya. Hukuman itu antara lain bisa disebut seperti adu manusia dengan singa atau binatang buas lainnya di Koloseum (Colosseum).Â
Suatu bangunan yang dipakai untuk adu bindatang dengan manusia yang diperuntukkan untuk tontonan rakyat Romawi dengan gratis dengan semangat seperti dikatakan penyair Romawi Juvenalis sebagai panem et circenses, roti dan sirkus. Bangsa Yahudi meskipun jauh dari Koloseum, berada di bawah pemerintahan Romawi. Tokoh-tokoh Yahudi sangat paham akan hal ini.
Hukuman salib, seperti halnya di Koloseum diperuntukkan bagi narapidana yang bukan hanya meresahkan masyarakat tetapi juga penghojat Allah.Â
Suatu kejahatan di masyarakat yang bahkan melebihi pemberontak Romawi semacam Barabas yang dibebaskan Pontius Pilatus atas permintaan tokoh-tokoh Yahudi sebagai ganti Yesus yang menjalankan hukuman mati sekaligus roti dan hiburan gratis bagi rakyat Yahudi. Sosok yang dianggap sebagai berasal dari penghulu setan, Beelzebul. Semacam jin kafir.
Roti dan tontonan gratis itu dimulai dengan Jalan Salib Yesus, Via Dolorosa, dari Kediaman kediaman Kayafas di Yerusalem ke Bukit Golgota di luar Yerusalem. Rakyat Yahudi yang memegang kuat tradisi Taurat melihat dan disuguhi itu semua. Berbagai sikap ditunjukkan dengan telanjang atas peristiwa ini.
Takut Pada Salib
Siapa saja tidak menginginkan hidupnya mengalami Via Dolorosa, disalibkan hina dan dipertontonkan di depan mata seluruh orang. Siapa saja tidak suka kerapuhan, kelemahan, ketelanjangan, Â dan dosa-dosanya dibuka dan diadili di depan mata semua orang. Akhir hidup yang terhinakan. Semua orang ingin akhir hidup dan kematiannya tenang dan damai (requiescat in pace) atau akhir hidup dan kematian dalam keadaan yang terbaik, husnul khotimah.
Yesus sendiri yang menjalani Jalan Salib itu dan yang tidak bersalah serta memperjuangkan kebenaran dan hidup dengan gagah berani tanpa cela, juga demikian. Tidak menginginkannya. Ia gentar juga sewaktu berdoa di Taman Getsemani. Karena itu dilaporkan dalam Injil bahwa peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah.
"Kemudian Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelempar batu jaraknya, lalu Ia berlutut dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi." Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya. Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah" (Lukas 22:41-44).