Dari uraian pengaruh rokok terhadap kesehatan, Usman Alwi mengetengahkan permasalahan tembakau dan segala dampaknya. Rokok memang mempunyai dimensi ekonomi : tersedotnya uang masyarakat oleh mesin jet pump pabrik rokok. Sementara biaya pengobatan dan perawatan terhadap penyakit akibat tembakau sangat mahal.Â
"Tobacco economics is sham economics" (ekonomi tembakau itu ekonomi yang palsu) papar Dr. Roberto Masironi, koordinator program WHO, waktu itu. Jadi, secara ekonomi, rokok dan tembakau sangat merugikan masyarakat keseluruhan. Kalaupun dianggap menguntungkan, itu hanya untuk raksasa-raksasa industri rokok.Â
Bagaimana dengan pemerintah yang menarik cukai, bukankah diuntungkan? Ya. Memang pemerintah menikmati itu yang disebut dalam pernyatan WHO sebagai 'kesenangan politik' bagi pemerintah.
Bahkan, rokok dalam majalah kedokteran terkenal seperti Lancet seperti dikutib Usman Alwi sebagai perbudakan gaya baru. "Third world smoking. The new slave trade." (Lancet 1984:23-24).
Rokok ternyata juga mempunyai dimensi politis. Sebagai contoh, campur tangan internasional terhadap Jepang sehingga sekitar Oktober 1986, Jepang menyetujui tuntutan penghapusan pajak bagi rokok luar negeri. Phillip Morris, perusahan rokok terbesar, mengatakan, "penundaan pajak di Jepang dan pembukaan pasaran di Taiwan baru-baru ini adalah hasil langsung dari perundingan yang efektif oleh perwakilan Perdagangan Amerika Serikat," (hal 94).
Islam
Selain dimensi-dimensi di atas, paparan yang paling telak adalah paparan dari dimensi iman dan penghayatan hidup, yang juga dikaji. Iman itu khususnya iman Islam. Dilihat dari dimensi ini, tidak ada alasan yang membenarkan aktivitas merokok.Â
Banyak alasan yang ditemukan dalam Al-Qur'an maupun Hadits yang tidak membenarkan kebiasaaaan atau kecanduan rokok. Secara eksplisit memang tidak dikatakan soal rokok karena di zaman Nabi Muhammad SAW belum ada kebiasaan merokok.
Kesaksian almarhum Abuya Sutan Mansyur, pimpinan Muhammadiyah (guru Buya Hamka) tentang rokok mengesankan. Kesaksian almarhum Abuya Sutan Mansyur itu antara lain disampaikan Muhammad 'Imaduddin' Abdulrahim PhD dalam kata pengantarnya.Â
"Saya berhenti merokok sesudah menyadari bahwa merokoklah satu-satunya pekerjaan yang saya lakukan tanpa membaca Basmalah, sehingga saya yakin bahwa pekerjaan ini pasti pekerjaan syaithan," tulisnya. (hal. 12). Ini menarik sekaligus kita ditampar, mengingatkan saya pada pengalaman saat-saat berhenti merokok beberapa tahun yang lalu.
Kata-kata Abuya Sutan Mansyur, tidak menarik saya saja, ternyata penulis buku ini juga mengulang kalimat itu, seakan menegaskan kembali justru di bab akhir sebelum kesimpulan. "Sekali lagi, tidak ada orang yang memulai kegiatan merokok mengawalinya dengan ucapan Bismillah," (hal. 153).