Pengantar: Hoaks adalah informasi sebenarnya palsu tetapi seolah-olah dianggap benar. Batas antara yang palsu dan yang benar sangat tipis jika kita tidak mengetahui dan memahami betul informasi tersebut. Hoaks bekerja di tataran permukaan, banal. Karena itu, pernyataan eksplisit tentang perang terhadap hoaks, juga bisa menjadi bagian dari hoaks itu sendiri. Hoaks sejak awal menjadi alat untuk menjatuhkan lawan. Bagaimana menangani hoaks adalah dengan masuk dalam cara masyarakat berpikir itu sendiri. Karena itu, mempelajari Ilmu Gosip dalam buku karya James Danandjaja ini masih sangat relevan meskipun buku ini sudah terbit awalnya tahun 1984 yang lalu. Untuk itulah tinjauan ini ditampilkan.
Di Suriname (Guiana Belanda) Amerika Tengah, terdapat lapangan umum bernama Oranje Plein. Orang-orang Jawa yang telah migrasi ke sana akan menyebutnya mbotennyeplein. Di daerah Yogyakarta minuman sari jeruk dengan nama orange-crush, akan disebut orang Yogyakarta sebagai mbotennyekrus. Atau jangan bingung ketika orang Jawa menyebut daerah Boyolali dengan sebutan bajulkesupen lalu buru-buru mencarinya di peta. Dijamin tidak ada.
Sementara di Yogyakarta, populer dengan bahasa plesetan yang kini sudah digemari banyak orang di berbagai tempat. Plesetan adalah suatu bahasa gabungan antara homonim (sama bunyi tetapi beda arti) dan osnomatopoetic (menamai 'benda'-nya berdasarkan bunyi yang keluar dari benda itu).
Plesetan dipakai agar si lawan bicara tergelincir dengan kata-kata dan akhirnya jatuh. Dalam proses tergelincir itu terletak kelucuan-kelucuan. Caranya, bisa dengan pura-pura tidak tahu apa yang dimaksud dengan lawan bicara sekaligus mengarahkan maknanya pada sesuatu yang tidak berhubungan sama sekali dengan yang dimaksud lawan bicara.
Lucu memang kedengarannya. Seperti halnya 'language game'-nya Wittgenstein. Anehnya, bentuk-bentuk semacam ini terjadi di setiap suku bangsa, kebudayaan meskipun mempunyai ciri khasnya masing-masing.
Tampaknya, hal itu hanyalah suatu tuturan spontan dan tanpa aturan-aturan logis. Tampaknya itu hanya semacam guyonan sepintas atau iseng. Jika demikian halnya, itu tidak bisa dipelajari.
Namun, hal demikian terjadi di mana-mana. Lalu, kalau demikian bisa menjadi obyektif, artinya bisa dipelajari. Banyak ilmu yang dapat dipakai untuk itu seperti linguistik, filologi, fenomenologi, etnometodologi, etnosains, Folklor, dan sebagainya.
Penggunaan studi semacam ini bahkan bisa dipakai untuk menganalisa misalnya bagaimana pergantian rezim dari Soekarno ke Soeharto. Jadi perkataan apa saja (tentunya tidak dilepaskan dari konteksnya atau konteksnya tidak dibuat kabur sehingga sehingga suatu perkataan bisa ditarik ke mana-mana) dari Soekarno dan Soeharto dikumpulkan selengkap-lengkapnya dalam suatu tabel di seputar tahun 1965 maupun 1966. Dari situ dapat terlihat pola-pola bahasa 'plesetan' khas Soeharto, misalnya.
Asumsi ilmu ini dengan demikian adalah bahwa bahasa mencerminkan realitas sosial yang ada. Bagaimana realitas sosial dapat didekati dengan bahasa yang dipakai suatu masyarakat. Kalau sudah demikian, hal ini bukan iseng lagi, bukan sekedar guyonan.
James Danandjaja dalam buku ini membidik fenomena-fenomena itu dengan ilmu Folklor. Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat (hal. 2).