Sejak Rezim Soeharto jatuh, konsep Dwi Fungsi ABRI  yang digagas oleh Jendral Besar A.H. Nasution  sudah ditinggalkan, bila dulu kita akan dapat dengan  mudah menenukan purnawirawan TNI dalam posisi Menteri, Gubernur dan Bupati, tapi sekarang untuk jabatan menteri saja hanya ada beberapa pos  yang diberikan untuk purnawirawan, kita juga sudah jarang menemukan Purnawirawan TNI menjabat posisi Gubernur dan Bupati,bahkan Fraksi ABRI yang merupakan perwakilan TNI-Polri  dalam parlemen sejak tahun 2004 saja sudah tidak ada lagi,ketika presiden kita berasal dari TNI (SBY) peran TNI tetap ditinggalkan,(SBY  memang salah satu TNI yang tidak setuju dengan konsep Dwi Fungsi ABRI ), tentunya ada pihak dari TNI yang merindukan akan kembalinya konsep Dwi Fungsi ABRI
Sipil memang telah mengambil alih pemerintahan, tapi pemerintahan ditangan sipil juga sebenarnya adalah pemeritahan yang bersistem  oligarki ( pemerintahan yang dijalakan beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu ) atau singkatnya adalah pemerintahan yang dijalakan oleh sekelompok elite, dan beberapa purnawirawan TNI- AD merupakan bagian dari elite-elite tersebut seperti, SBY,Prabowo dan Wiranto (dari sipil Megawati,Amien Rais,Hilmi Aminuddin,Surya Paloh,Jusuf Kalla,Aburizal Bakrie ) tapi walau beberapa elite tersebut berasal dari TNI tidak ada satupun dari mereka yang mempunyai konsep untuk melibatkan TNI kembali dalam pemerintahan, para elite ini adalah "pemilik "partai politik, sehingga secara tidak langsung merekalah penguasa di parlemen, hasil pemilu sejak era reformasi tidak pernah ada satu partai yang mendapatkan suara mayoritas, akibatnya setiap pemerintahan selalu membentuk koalisi, koalisi ini terbentuk berdasarkan  bagi-bagi kekuasaan para elite bukan berdasarkan kesamaan visi dan misi dalam menjalakankan pemerintahan.
Rakyat hanya didekatkan oleh para elite ketika kampanye,setelah kampanye sangat terasa bahwa kepentingan para elite sering berseberangan dengan kepentingan rakyat,contohnya adalah masalah pencalonan BG menjadi Kapolri,Jokowi yang dalam kampanyenya dengan gagah menyatakan tidak akan ada bagi-bagi kursi ternyata tidak melaksanakanya,janji itu memang utopis dikarenakan secara  realita politik Jokowi tidak mempunyai satu partaipun yang dapat dikuasainya,SBY saja yang mengusasai Partai Demokrat sebagai pemenang pemilu tahun 2009 dengan perolehan suara 20,8% dengan terpaksa membagi - bagi kekuasaan agar dapat menjalakan pemerintahan tampak gangguan, walau kenyataanya SBY pun acap kali diganggu oleh partai koalisinya seperti PKS dan Golkar.
Para elite  ini dalam memenuhi syawat kekuasaanya sering  menubruk norma dan etika dalam berpolitik, sehingga politik menjadi gaduh,  bias antara kepentingan rakyat dan kepetingan elite semakin melebar, bias itu terlihat dari pemaksaan para elite  yang sedang berkuasa (Megawati dan Surya Paloh ) agar presiden Jokowi melantik BG sebagai  Kapolri dan pembiaran Jokowi terhadap Kriminalisasi pimpinan KPK oleh oknum-oknum pimpinan Polri, oknum-oknum pimpinan Polri ini sepertinya tidak mau mendengarkan perintah Presiden untuk menghentikan kriminalisasi pimpinan KPK hal ini dikarenakan mereka merasa mempunyai kekuatan dari elite yang partainya sedang berkuasa ( Mega dan Paloh ).sehingga tidak mengubris perintah Presiden.
Polri semakin terlihat menjadi institusi yang berpolitik praktis, tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri semakin rendah begitu juga tingkat kepercayaan masyarakat kepada para elite penguasa, bila Jokowi membiarkan hal tersebut maka benturan antara KPK bergabung dengan rakyat melawan Polri bergabung dengan para elite penguasa hanya tinggal menunggu momentumnya saja, ketika benturan itu terjadi peran TNI akan sangat menentukan, tidak sulit untuk menduga kemana TNI akan berpihak, dari pihak TNI sudah ada pihak yang merindukan akan baliknya konsep Dwi Fungsi ABRI dan ada sudah ada benih - benih kecemburuan terhadap Polri,kecemburuan tersebut disebabkan oleh tingkat kesejahteraan yang mencolok antara anggota TNI dan anggota Polri,maka ketika Abraham Samad meminta bantuan kepada  TNI untuk menjaga kantor KPK dari rencana pengeledahan Polri dengan cepat Pangab Jendral Moeldoko merenspon permintaan tersebut.
Seperti kita ketahui manakala militer mengambil kekuasaan, mereka akan menahan kekuasaan tersebut selama mungkin dan habislah perjuangan reformasi 1998, kita akan kembali ke pemerintahan otoriter,untuk mencegah hal tersebut bersikalah yang tegas Presiden Jokowi untuk mendukung KPK dan Rakyat,bila tidak TNI AKAN AMBIL ALIH KEKUSAAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H