Saya mengamati kepemimpinan di Indonesia bila melakukan kesalahan, langsung melakukan satu hal: MENYANGKALNYA. Model tidak mengakui kesalahan, memutarbalikkan kesalahan, kembali menyerang yang menunjukkan kesalahan, atau menuntut balik dengan alasa pencemaran nama baik selalu menjadi ciri khas sebagian pemimpin di Indonesia. Bila ada yang mengkritik terlalu keras, maka selalu memakai ayat-ayat dari kitab Suci bahwa kita harus punya prasangka baik, tidak boleh menghakimi. Ada juga yang berani bersumpah atas nama Tuhan dan keluarga walaupun sudah kasat mata ia memiliki kesalahan.
Bahkan media massa pun seperti kasus terbaru Tv One bukannya melakukan investigasi ke dalam tentang mengapa bisa mendatangkan narasumber seperti itu, justru tidak dilakukan oleh pemimpin perusahaan, malahan sengaja diciptakan kontroversi sehingga masyarakat saling dukung mendukung satu kepada yang lain. JIka selalu mengatasnamakan reputasi yang dianggap makhluk suci yang tidak ada pernah kesalahan, maka amat sulit mendapatkan obyektivitas. Bahkan ketika saya menulis kritis akan hal ini, ada juga yang mengatakan jangan menghakimi. Justru ketika ada tuduhan terhadap rekayasa berita, maka publik yang pertama harus berbicara karena dia adalah “konsumen” berita itu dan publik harus mendapatkan kebenaran dan bukan kebohongan. Maka ketika fihak Tv One merasa dipermalukan, seharusnya berani mengambil sikap obyektif!
Ini rupanya menjadi salah satu ciri budaya Timur khususnya di Indonesia adalah budaya malu (shame culture). Budaya malu yang dimaksud adalah budaya yang pantang dipermalukan dan malu mengakui bila berbuat kesalahan. Ini budaya malu yang agak beda dengan budaya malu di Jepang. Sama malunya, tetapi di Jepang rasa malu diakhiri dengan membunuh dirinya. Tetapi di Indonesia malu diakhiri dengan menyerang orang lain atau tidak mengakui sama sekali kesalahannya. Selalu merasa bahwa orang lainlah penyebab mengapa dia bisa begini. Di dalam konflik, sering kita dengar perkataan, “Saya bukannya tidak terima kritik atau teguran, tetapi CARA-nya itu lho yang saya tidak terima!” Jadi substansi permasalahan bisa kabur karena tidak terima dengan CARA yang dianggap mempermalukan. Makanya, banyak istilah yang muncul, “saya sudah kehilangan muka!”, “di mana ditaruh muka saya?”Istilah ini muncul dalam ekspresi budaya malu. Lalu balik menyerang dengan alasan nama baik yang telah rusak dan tercemar.
Selain budaya malu, sebenarnya ada juga budaya salah (guilt culture). Budaya salah adalah menyadari dirinya bila seseorang berbuat salah dan tidak merasa harus kehilangan “muka”. Budaya ini memang muncul di kalangan kaum intelektual dan masyarakat urban, di mana seseorang bisa saling menyerang “ide” yang dimiliki tanpa merasa harus diserang pribadinya. Budaya ini bukan milik Barat, tetapi budaya universal yang ada pada manusia dan patut dikembangkan. Budaya ini rela mengakui kesalahan dan tidak mengaitkan dengan pribadinya, karena obyek kesalahan adalah manusiawi.
Di dalam konteks kepemimpinan (bukan kasus korupsi), mengakui kesalahan justru menjadi suatu paradoks yang akan menguntungkan si pemimpin. Bill Hybels berkata, “Admitting your mistakes says something profound about your basic integrity as leader (h.211).” Di sini saya setuju dengan beliau, bahwa mengakui kesalahan adalah berbicara tentang integritas seorang pemimpin. Contoh praktisnya: “Saya sudah mengambil resiko dengan investasi ini. Saya pikir investasi ini menguntungkan, ternyata saya salah. Ini kesalahan saya, karena Anda sebagai tim mungkin bisa obyektif melihat, tetapi saya tidak memperhatikan nasihat kalian. Saya minta maaf akan hal ini.” Dengan mengakui kesalahan, maka pemimpin membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang layak dipercaya (trustworhty leader).Maka pertanyaannya, beranikah kita melakukannya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H