Kisah polisi tak pernah habisnya. Kali ini ada berita di berbagai media bahkan sudah disebarkan di jejaring media sosial tentang kisah polisi meminta suap dari seorang turis Belanda (yang katanya jurnalis juga). Yang bikin hebih sudah muncul juga di youtube, karena direkam secara diam-diam (lihat di http://www.youtube.com/watch?v=GK22HH7_Nx4).
Ini membuat saya tertawa miris, karena ini memang sebuah kebaikan yang tak lazim. Seorang polisi hendak membantu yang melanggar lalu lintas dengan meminta suap. Bagi para penaat hukum, ini dianggap kesalahan fatal. Tapi bagi etikawan bisa jadi ini masalah yang perlu diperdebatkan. Tahun 1996 yang lalu, saya menemukan buku “Strange Virtues” oleh Bernard T. Adeney. Buku itu membuat saya tertawa geli melihat seorang bule yang harus berurusan berbulan-bulan kena tilang akibat tidak mau membayar suap yang sebenarnya murah, tapi ia menempuh jalan berliku-liku dan melelahkan untuk sebuah pelanggaran lalu lintas kecil. Pertanyaannya adalah bolehkah kita menyuap? Kisah di buku di mana polisi yang menilang sebenarnya hendak menolongnya, namun ketika dianggap tak lazim alias aneh karena meminta uang, maka si bule harus melewati masalah etik yang berkepanjangan di instansi hukum lainnya. Di semua lini ternyata ada suapnya, J.
Mengingat tulisan itu, saya berpendapat bahwa dua polisi ini adalah orang “baik”, karena ia melakukan kebaikan walaupun aneh dan tak lazim. Mengapa disebut “baik”? Pertama, ia menolong turis untuk tidak melewati proses tilang yang panjang dan melelahkan di pengadilan negeri. Sudah rahasia umum bahwa ditilang itu memakan waktu di mana menunggu panggilan sidang, sehingga STNK dan SIM yang disita membuat kita tidak bisa bepergian lagi. Kasus si turis mungkin sang turis harus memperpanjang masa “liburnya” karena harus ditahan paspornya, terutama jika harus berhadapan dengan sidang. Jadi dia mau “menolong” proses melelahkan itu. Lagipula, sudah ada pemangsa lainnya di setiap instansi yang harus dilewatinya. Jadi supaya turis ini aman, maka diselesaikan saja di pos polisi itu. Saya pikir itu sepertinya berlogika, karena secara jujur saya pernah tiga kali ditilang sejak masih SMA dan selalu saya selesaikan dengan “berdamai” yang disertai dengan ucapan terima kasih dari kedua belah fihak!
Kedua, kedua polisi ini “baik” karena mau mentraktir minuman dengan harapan agar sang turis tidak merasa diperas dan mereka mau menjadi pembela fihak korban. Dibelikannya bir, karena asumsi sang polisi bahwa orang bule suka bir daripada minuman soda ringan. Sudah bukan rahasia, manusia Indonesia itu bila diberi hadiah akan memberikan yang terbaik bagi yang menolongnya, sekalipun itu nyawanya. Sebuah kebaikan yang tak lazim lagi. Jadi polisi itu berharap dengan minum bersama, si turis akan memiliki kawan yang akan bisa diandalkan.
Tentu kebaikan ini bukan logika umum yang saya pakai. Ini logika bagi si polisi kecil yang melihat atasannya dan sistem di negara ini yang sudah carut marut dan korupsi sudah merajalela. Sang polisi kecil ini tentu tidak akan berani menerima suap jika tidak ada teladan yang dipertontonkan oleh bos-bos mereka. Lagipula, dengan ratusan ribu rupiah per hari di tangan sudah harus dibagi ke teman, disetor ke atasan dan mungkin anak dan istri menanti penuh harap berapa rupiah yang bisa dibawa pulang untuk membeli lauk pauk yang harganya semakin menggila. Ia berada di sebuah komunitas yang sudah rusak dan ia ingin berbuat kebaikan yang tak lazim alias aneh. Ia ingin menyelamatkan rumah tangganya dan sang turis sendiri.
Maka, jika kita tidak ingin melihat absurditas etika seperti ini maka pemerintah harus menyederhakan sistem tilang, seperti diserahkan kepada kepolisian saja mengaturnya. Lalu ada bonus bagi mereka yang berhasil menangkap pelanggar di akhir bulan, dan kemudian tidak ada toleransi bagi si pelanggar serta ada contoh yang dilihat nyata. Maka ini akan banyak menolong sistem lalu lintas kita yang sangat amburadul di seluruh Indonesia.
Kepada pimpinan POLRI, janganlah kedua polisi ini dipecat. Cukup diberikan disiplin dan sanksi sedang. Kasihan, mereka hanya seorang polisi kecil yang selalu melihat kata dan perilaku yang bertentangan di lembaganya. Mereka si polisi kecil ini hanya sebuah cermin dari gambaran korup yang tersitematis di negara ini. Sudah seharusnya ada pembenahan secara sistematis dan terstruktur, sehingga bukan hanyak sanksi reaktif kalau ada gerakan dari masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H