Mohon tunggu...
Daniel Ronda
Daniel Ronda Mohon Tunggu... Dosen Teologi -

Dosen Teologi, tinggal di kota Makassar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cut Tari Mengaku, Ariel Tidak: Mana yang Benar?

13 Agustus 2010   05:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:04 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Admitting your mistakes says something profound about your basic integrity as a leader (Bill Hybels).”

Saya sangat menghargai Cut Tari, tapi tidak dengan Ariel-Luna. Mengapa? Agak aneh, fakta-fakta sudah jelas, gambar di video sudah gamblang, tetapi mengapa tetap Ariel bertahan tidak mau mengakui? (sampai Kamis, 12/8/2010). Bahkan Luna Maya tetap bertahan tidak mengakui, tetapi minta maaf kepada publik. Tetapi untuk apa minta maaf bila benar? Sebuah ketidakkonsistenan yang aneh.

Budaya malu (shame culture) ternyata masih mendominasi budaya kita, tetapi dalam pengertian negatif. Bila Asia Timur memiliki rasa malu positif, maka budaya di sini punya rasa malu yang negatif di mana aib dan mempertahankan muka yang jauh lebih besar dari rasa bersalah (guilt culture). Bila rasa malu dibarengi dengan pengakuan dan rasa salah, itulah yang positif. Dalam hal ini saya mengagumi Cut Tari. Dia rela mempertaruhkan nama baik dan keluarganya hanya untuk mengakui kesalahan dan menyesali atas akibat dari video yang sudah tersebar. Mengakui, berarti bertanggung jawab atas kesalahan yang ada. Masyarakat Indonesia berhak mendapatkan pengakuan atas kesalahan. Inilah tanggung jawab moral seorang “public figure’. Saya rasa Cut Tari layak dimaafkan dan saya sungguh bangga punya orang Indonesia seperti Cut Tari. Siapa yang suci? Nabi Isa pun ketika ditanya pemimpin Yahudi yang menangkap perempuan berzinah, yang sebenarnya hukumannya dirajam batu, maka Isa malah menuliskan di tanah, “siapa yang tidak pernah berdosa, hendaknya yang pertama melempar dengan batu!” Semua pada pergi, dan perempuan itu dibebaskan dan diampuni dengan syarat jangan berbuat lagi. Sebuah kisah yang berisi pengalaman yang memiliki makna dalam tentang “siapa yang suci; siapa yang berhak menghakimi?”

Dari pengalaman selebritis antara yang mengaku dan menyangkal, maka ada pelajaran penting soal kepemimpinan, yaitu soal mengakui kesalahan. Justru mengakui kesalahan menunjukkan sebuah integritas seseorang. Diperlukan jiwa besar untuk mengakui, dan ketika dunia semakin mengglobal, maka kita bisa belajar bagaimana sebaiknya langkah yang dilakukan seseorang pemimpin bila melakukan kesalahan. Para pakar kepemimpinan sepakat bahwa mengakui kesalahan akan mengangkat integritas. Bila itu benar, mengapa kita masih enggan melakukannya? Saya sedih kalau ada pejabat publik yang masih meneladani Ariel-Luna, selebritis yang masih memikirkan “aib” daripada berpikir tentang tanggung jawab moral kepada masyarakat atas apa yang telah diperbuatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun