Mohon tunggu...
Daniel Puspo Wardoyo
Daniel Puspo Wardoyo Mohon Tunggu... -

seorang yang terus bertumbuh dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Seberapa Besar Nilai Satu Nyawa

26 September 2011   06:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:36 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Minggu malam lalu saya bersama dengan teman-teman menengok salah satu anggota keluarga dari teman saya yang sedang dirawat di rumah sakit karena stroke. Kami tidak bisa masuk ke ruangan tempat pasien itu dibaringkan karena dia ditempatkan di ruang ICU. Apalagi si pasien dalam keadaan tidak sadar. Katanya ada pembuluh darah di kepala yang pecah.  Peristiwa itu begitu cepat, sebelumnya kelihatan baik-baik saja tapi kemudian mendadak begitu. Saat berbincang-bincang dengan anggota keluarga pasien, dia mengatakan sesuatu yang membuat saya kaget dan sedih. Dia mengatakan kalau pagi itu ketika dokter melakukan pemeriksaan lalu si dokter memberitahu perawat jaga supaya memberikan obat tertentu, namun sampai sore harinya obat itu tidak pernah diberikan ke pasien. Ketika pihak keluarga menanyakan menanyakan hal tersebut, perawat dengan tidak enteng dan tidak merasa bersalah menjawab bahwa di apotik sedang antri sehingga telat. Pada keesokan harinya, saya mendapat SMS dari seorang teman dan memberitahukan kalau pasien itu telah meninggal. Wah campur aduk rasanya hati ini. Memang nyawa setiap orang ada di tangan otoritas Tuhan. Namun, tidak bisa dipungkiri pertanyaan ini akan mengusik : kalau seandainya obat itu diberikan kemarin, apakah akan tetap sama kejadian berikutnya yang terjadi? sepertinya dia hanya mengantar nyawa dan untuk itu juga harus membayar sejumlah uang tertentu. ironi sekali. Saya sekeluargapun pernah mengalami kondisi ini, dimana dokter spesialis memberi diagnosa salah dan memberi obat yang justru akan memperparah sakit anak saya. Dokter tersebut kurang teliti membaca data lab. Untungnya saya konsultasi dengan teman-teman dokter-dokter lain dan ketahuan kesalahannya. Semoga hanya keluarga saja yang mengalami kondisi ini. Bagaimana kalau ada pasien yang miskin dan tidak bisa melakukan "second opinion"? pasrah pada keadaan? Apakah ini akan terus demikian terjadi dengan rumah sakit dan pekerja-pekerja kesehatan? tentu tidak dalam semua kasus. Masih banyak rumah sakit dan tenaga-tenaga kesehatan yang sangat baik dan memiliki visi mulia yang orientasinya tidak hanya bisnis semata. Tapi memiliki hati nurani yang berbelas kasihan pada sesama manusia, meskipun itu satu manusia bahkan gelandangan sekalipun. Semoga tidak ada putus harapan, kiranya makin banyak tenaga-tenaga kesehatan yang baik hati, punya visi mulia dan pinter. Demikian juga banyak rumah sakit yang tidak pernah menolak dan menelantarkan orang miskin berobat. Karena nilai satu jiwa itu berharga karena dia diciptakan sesuai citra Sang Pencipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun