gambar from google
Aku telah Ternoda
(Renungan batin)
langit seakan runtuh dan bumi terbelah menyeret tubuhku masuk ke dalamnya dan menimbunku hidup-hidup. Semuanya terlihat gelap dan senyap. Tak ada pegangan yang dapat kuraih. Membiarkan diriku melayang entah kemana. Akankah masa depan menantiku? Adakah secuilharapan menantiku? Bagi diriku, seorang yang telah kehilangan segala-galanya.
Semuanya berawal dari peristiwa itu. Seperti layaknya pacaran anak muda. Semuanya serba indah dan menyenangkan namun kadang tidak berpikir panjang. Aku dan pacarku telah melakukan sesuatu yang seharusnya belum boleh dilakukan. Pada saat seperti itu kami tidak menyadari resikonya. Setelah kejadian itu, kami sama-sama merasa bersalah dan menyesal, terlebih aku. Aku menangis, merasa gagal menjaga kehormatan yang seharusnya kupertahankan. Namun aku juga marah dengan pacarku itu, kenapa dia tega memaksakan nafsunya kepadaku. Katanya mengasihi aku, tapi kenapa dia justru tidak menghargai diriku sepenuhnya, tapi ah semuanya sudah terjadi….
Kalau dilihat ke belakang, kami memang sudah bersalah. Cara kami berpacaran sudah tidak benar. Berapa banyak pertemuan-pertemuan kami berdua selalu diisi dengan hal-hal yang tidak membangun kehidupan yang lebih baik. Bukankah seharusnya berpacaran adalah tahap persiapan untuk menikah. Oleh karena itu seharusnya kami saling mengenal terutama untuk memantapkan apakah benar kami cocok kelak sebagai pasangan suami istri. Dan saling membangun karakter kami.
Akibatnya sangat panjang. Perasaan bersalah itu seakan membayangiku terus. Membuat hubunganku dengan Tuhan jadi terganggu demikian juga hubungan dengan teman-teman. Aku merasa jijik dengan diriku sendiri, kotor dan tidak layak. Namun di sisi lain, dorongan-dorongan untuk melakukan hal itu lagi juga ada dalam diriku. Kehendakku ingin menolak tapi nafsu dagingku ingin dipuaskan. Apalagi bila pacarku mulai “mencobai’ aku lagi, seringkali aku lemah untuk menolaknya. Ah betapa rumitnya persoalanku ini..
Di hati kecilku, sebenarnya aku takut kalau pacarku itu akan meninggalkan aku. Maka aku mencoba menjaganya sedemikian rupa supaya hubungan kami tidak putus. Karena kelak siapa yang mau menikah dengan aku yang seperti ini? Namun apa mau dikata, karena banyak sekali pertentangan di antara kami, maka berakhirlah sudah semua jalinan bersamanya.
Kini tinggallah aku sendiri, meratapi nasib yang ternoda sedangkan dia “terbang” entah kemana tak berbekas. Namun, aku tidak mau membiarkan diriku terus larut dalam kondisi ini. Aku harus bangkit dengan komitmen baru. Aku pun harus mau menanggung semua konsekuensi dari kesalahan masa laluku itu. Termasuk apabila tidak ada seorangpun laki-laki yang mau menerimaku. Bukankah hidup memang harus berjalan. Ada banyak hal yang masih dapat aku perbuat dalam dan melalui hidupku. Hidupku memang pernah hancur, tapi tak selamanya akan demikian. Biarlah ini menjadi pelajaran yang penting buatku untuk tidak terulang dikemudian hari.
Inilah aku sebagai wanita, seringkali yang harus menanggung semua beban ini. Seandainya mantan pacarku dulu tahu betapa beratnya beban perasaan dan pikiran yang membayangiku bila mengalami peristiwa ini. Maka mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Mungkin kami akan sama-sama menjaga dan menguasai diri sehingga tidak akan terjadi peristiwa itu.
Aku berdamai dengan Tuhaku yang karena pengorbananNya itu cukup memberiku penerimaan kekal. Akupun juga berdamai dengan diriku dan masa laluku, karena diriku sudah diterimaNya apa adanya. Aku tidak boleh terus terpuruk dengan hal itu. Aku punya masa depan.
Sekarang aku masih bisa berharap kelak Tuhan akan mempertemukan aku dengan laki-laki yang dewasa yang dapat menjaga diriku seutuhnya dan menerimaku apa adanya.
HOPE
(House of Peanut)-pwk, 7 Nov 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H