Mohon tunggu...
Daniel Puspo Wardoyo
Daniel Puspo Wardoyo Mohon Tunggu... -

seorang yang terus bertumbuh dan belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Sudah Mencemari dan Dicemari (Renungan Batin)

15 November 2011   04:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:39 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ada seorang pemburu yang berpesan kepada monyet peliharaannya supaya menjaga setundun buah pisang yang telah ditemukannya di hutan. Setelah itu si pemburu pergi berburu lagi.

Sesaat si monyet menunggu dengan sabar , lalu perutnya mulai terasa lapar. Namun dia tidak mau pergi kemana-mana untuk mencari makanan karena harus menunggui pisang itu. Sekilas dia melirik buah pisang itu lalu menatapnya, hmh…ranum sekali. Warnanya kuning menandakan sudah sangat matang. Air liurnya mulai menetes..seleranya terpacu di dorong gejolak isi perutnya yang meronta untuk di isi.

Dia ingat pesan tuannya supaya tidak memakan pisang tersebut dan hanya menungguniya saja sampai tuannya itu kembali. Karena sudah tidak bisa menahan lagi, dia mulai meraba pisang itu. Ah..tidak apa-apa kan hanya memegangnya, bukan memakannya. Empuk. Lalu dia mulai mencium aromabuah itu, pikirnya tuanku tidak akan marah, kan hanya dicium. Nyam…nyam sedap harumnya. Lalu dia mulai maju, dipetiknya satu buah pisang itu dan dibuka kulitnya lalu dijilatnya…wah lezat sekali. Pikirnya, kan cuma dijilat dan tidak dimakan. Lalu karena keasyikan terus menjilat, pisang tersebut tiba-tiba tertelan. Dia kaget..dan takut. Namun sudah terlambat, pisang tersebut sudah masuk ke dalam perutnya. Tinggallah penyesalan dan dia harus mempertangggungjawabkan pada tuannya.

Kisah di atas ternyata tidak jauh berbeda dengan pengalamanku. Di saat menjadi mahasiswa seperti sekarang ini dan di usia yang masih banyak gejolak membara di dada ini, tidak sulit bagiku hanya untuk mendapatkan seorang pacar. Bermodalkan tampang yang agak lumayan dan rayuan-rayuan serta JAIM-JAIM dikit alias jaga image maka bisa saja ada gadis yang tertarik padaku, apalagi kalau gadis itu haus perhatian. Wah pasti ketangkep deh..

Mulailah aku berpacaran dengan seorang gadis. Dia lugu sekali. Hampir tidak terlihat ada polesan riasan di wajahnya kecuali bedak seadanya. Dia pintar dan nampaknya alim. Alasannya mau menjadi pacarku karena ingin mengubah aku, siapa tahu aku yang brandalan ini akan meniru hidupnya yang kelihatan rohani sekali.

Setelah sekian lama berpacaran dengannya, bukannya aku jadi berubah namun aku makin beringas. Cara berpacaran kami sudah sangat tidak sehat. Bisa dipastikan, sayalah yang memulai dan memaksanya. Pertama-tama dia menolak. Ketika kugenggam jarinya, dia segera menepis tanganku. Lalu kukatakan : “kan Cuma memegang tangan aja !” akhirnya dia oke.

Di lain waktu, ku belai rambutnya dan ia pun merasa agak risih. Kuyakinkan dia, itu hanya membelai saja. Dan ia setuju.

Tepat di hari ulang tahunnya, kubawakan sekuntum bunga dan kado istimewa buatnya. Kuucapkan selamat, lalu kucoba mencium pipinya..dia agak terkejut namun akhirnya luluh, kukatakan ini kan hari istimewa.

Tidak sampai di sana. Pendakian itu di mulai dari bawah dan sadar atau tidak sadar, keinginanku lebih tepat dorongan nafsuku adalah mencapai puncaknya. Dan itu memang terjadi, entah karena paksaanku atau karena dia sendiri mulai menikmati, maka kami berbuat itu.

Semuanya sudah terjadi. Aku sebagai laki-laki memang merasa bersalah, sepertinya tidak mampu mengendalikan diri. Kadang dipikiranku penuh dengan gambaran-gambaran yang kotor seperti yang sering kulihat difilm-film kotor itu. Hal tersebut yang sering membuatku tak berkutik dan memaksakan kehendakku pada seseorang yang seharusnya kukasihi.

Bukankah dorongan ini berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kalau saya laki-lak (biasanya)i, dorongan itu seperti saklar lampu, bila di klik langsung menyala. Sedangkan perempuan (biasanya) seperti setrika, butuh proses menuju panas.

Aku sadar. Hal tersebut bisa terjadi karena mudahnya kompromi terhadap hal-hal yang dianggap kecil atau tidak apa-apa. Dari pegangan tangan, balaian, pelukan dan seterusnya.

Kini dia terpuruk dalam gelap. Sedih dan nestapa. Dan aku juga merasa bersalah. Aku telah MEncemari, demikian juga sebenarnya aku telah DIcemari oleh kelakuanku sendiri. Mungkin seandainya dulu kami tegas sejak awal, bahkan kalau perlu ketika aku dikuasai nafsu, pacarku mau menegurku bahkan menampar pipiku, mungkin bisa menolong. Tapi ya…

Pwk, 15 Nov 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun