Sekarang ini, bangsa Indonesia sedang terjebak dalam euforia demokrasi. Pasca Pemilu legislatif yang dilangsungkan pada tanggal 9 April 2014 yang lalu, sebentar lagi kita akan dihadapkan pada Pemilu presiden. Pemilu Presiden kali ini memang benar-benar menarik karena dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia akan mempunyai pemimpin baru. Yap, era dinasti Yudhoyono di Istana negara memang mau tidak mau harus “diakhiri” dulu seiring dengan habisnya masa jabatan Presiden SBY.
Sebagai bangsa Indonesia, saya secara pribadi bangga karena bangsa kita secara umum sudah menjalankan demokrasi yang semakin membaik dari waktu ke waktu. Kalau dulu tahun 2004 kita dihadapkan pada Pemilu dengan jumlah partai politik yang mencapai 48 partai, kemudian pada 2009 dengan 24 partai, pada tahun 2014 ini pada Pemilu legislatif hanya diikuti oleh 12 partai. Untuk orang-orang non-parpol seperti saya, Pemilu 2014 ini jauh lebih baik dan sederhana.
Namun demikian, terlepas dari penyelenggaraan Pemilu yang menurut saya sudah jauh lebih baik, secara pribadi saya menyimpan satu kekecewaan. Kekecewaan yang mulai muncul sejak pilihan calon Presiden Indonesia yang baru mengerucut pada dua orang, yaitu Prabowo dan Jokowi. Pertarungan sengit antara dua calon Presiden ini menurut saya sangat menarik. Kedua calon Presiden ini menurut saya sama-sama kuat dan sama-sama populer. Salah satu hal yang membuat saya yakin bahwa Pemilu Presiden tahun 2014 ini akan sangat seru. Dari sudut pandang saya yang awam ini, kedua Calon Presiden merupakan dua orang sosok yang luar biasa. Jokowi merupakan sosok yang sangat merakyat, sedangkan Prabowo merupakan seorang pemimpin kharismatik. Keduanya bagi saya sama-sama punya tujuan mulia untuk membawa Indonesia menjadi negara dan bangsa yang maju.
Lantas, jika demikian mengapa saya kecewa?
Saya kecewa dengan fanatisme bangsa Indonesia dalam mendukung Calon Presiden kesayangannya. Saya kecewa bukan karena bangsa kita fanatik, tetapi karena fanatisme tersebut tidak disertai dengan perwujudan tingkah laku, perbuatan, tindakan, dan perkataan yang positif.
Saya kecewa dengan adanya orang-orang yang berusaha mendukung Capres pilihannya dengan cara menjatuhkan Capres yang lain. Jokowi diserang dengan isu SARA, mulai dari keislamannya diragukan, dikatakan bahwa ia merupakan keturunan Tiongkok dengan nama Wi Jo Ko (gak habis pikir buat yang satu ini). Di satu sisi lainnya, Prabowo diserang dengan isu HAM. Beliau dikatakan sebagai orang yang bertanggung jawab atas penculikan aktivis pada masa reformasi 1998 dulu.
Saya kecewa, bagaimana pendukung masing-masing Capres dengan mudahnya membagikan dan menyebarkan artikel-artikel yang menjatuhkan pihak Capres lawannya, bahkan tanpa terlebih dahulu mengecek keabsahan berita tersebut. Seolah-olah seluruh berita negatif sudah pasti benar. Seolah olah mereka adalah pihak yang menyaksikan langsung. Ckckck.
Ayolah, kita mulai berpolitik dengan santun, politik gagasan. Kita adu gagasan kedua Capres, bukan lagi ketakutan dengan teori konspirasi yang membayangi kedua Capres. Saya yakin, baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-Jussuf Kalla adalah Capres yang sama-sama baiknya, kedua pasangan memiliki tujuan mulia untuk membawa Indonesia kembali menjadi negara yang disegani oleh negara lain dan menjadi negara maju. Satu hal yang menjadi perbedaan antara kedua pasangan hanyalah Gaya Kepemimpinan. Hanya beda rasanya saja kok. (ard)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H