Masih ingatkah dengan nama-nama tokoh Micki Foster, Ryan Dallion atau Jack Marshack? Masih ingatkah juga dengan sebuah toko yang menjual barang-barang antik, yang bernama "Curious Goods"? Dan masih ingatkah juga dengan cuplikan video di atas? Bagi pecinta tontonan bergenre horor, tentunya akan bisa menebak bahwa ketiga pertanyaan tersebut terkait dengan serial televisi yang sangat terkenal di era 80-an akhir yang berjudul "Friday The 13th". Serial ini ditayangkan pertama kali oleh stasiun televisi Indonesia yaitu TVRI di akhir 80-an dan termasuk serial yang sangat dinikmati oleh pemirsa TVRI di samping serial Little House on The Prairie, Little Missie, Rumah Masa Depan, atau Losmen.
Sejak dari opening, nuansa horor sudah begitu terasa. Lihatlah bagaimana serial ini dimulai dengan beberapa cuplikan adegan yang menakutkan. Kemudian disambung dengan sebuah view dari lubang kunci pintu dan selanjutnya penonton dibawa masuk melihat ruangan yang berisi barang-barang kuno seperti kursi, gramafon, cermin, boneka monyet dan diakhiri dengan sebuah toples dari kaca yang kemudian pecah serta tulisan "Friday The 13th". Tak lupa suara jeritan, petir dan iringan musik yang membangkitkan bulu kuduk menjadi pembuka yang benar-benar mengerikan.
Friday The 13th bercerita tentang seorang penjual barang-barang antik bernama Lewis Vendredi. Lewis membuat sebuah perjanjian dengan iblis untuk menjual barang-barang yang sudah menerima kutukan tersebut sebagai ganti kekuatan yang akan diterimanya. Lewis kemudian mengingkari perjanjian tersebut dan akhirnya harus terenggut nyawanya sebagai akibatnya. Setelah kematian Lewis, toko tersebut diwariskan kepada keponakannya Micki Foster dan saudara sepupu Micki yang bernama Ryan Dallion. Micki dan Ryan pun menjual barang-barang terkutuk tersebut, sebelum dihentikan oleh Jack Marshack. Cerita kemudian dilanjutkan dengan perburuan barang-barang terkutuk lainnya. Dan dari perburuan tersebutlah kisah-kisah menakutkan ditampilkan di setiap seri tayangan ini.
[caption id="attachment_187474" align="aligncenter" width="420" caption="(sumber: telemondotv.it)"][/caption]
Serial horor ini menjadi favorit saya. Saya masih ingat waktu masih SD dahulu bisa dikatakan selalu menonton serial ini di televisi hitam putih selama satu jam setiap minggunya. Meski beberapa kali harus menutup mata dan telinga pada adegan-adegan horor yang muncul di layar kaca, dan bahkan malam itu harus tidur dengan menutupi seluruh tubuh dari kaki hingga kepala dengan selimut atau sarung karena terbawa rasa takut, namun saya selalu 'ketagihan' untuk menonton seri berikutnya.
Kesan horor yang disajikan oleh serial Friday The 13th ini memang luar biasa menakutkan. Mulai dari adegan-adegan yang ditampilkan, efek yang dipakai, dialog, sampai musik pengiring merupakan paket lengkap untuk membuat serial ini begitu sukses digemari oleh penonton selama tiga musim tayang (1987 - 1990). Tak heran jika kemudian serial ini mendapatkan nominasi dan penghargaan. Nominasi pada dua Emmy Awards diraih oleh serial ini di tahun 1988 dan 1989 untuk kategori Visual and Graphic Effects. Serial ini juga memenangkan dua silver plaque di Chicago untuk episode Scarlet Cinema dan The Sweetest Sting. Bahkan serial ini dinominasikan sebanyak 12 kali untuk writing, editing, directing, production design, acting, sound and music oleh Gemini Awards di Kanada.
Saya mencoba membandingkan kualitas serial horor tersebut dengan beberapa tayangan horor baik di televisi maupun film/bioskop di Indonesia. Dan tentu saja semua bisa menjawab, hasil perbandingannya jauh berbeda. Jika serial Friday The 13th bisa membuat saya benar-benar ketakutan, maka sebaliknya karya-karya bergenre horor buatan dalam negeri memiliki kadar horor yang rendah.
Film-film Indonesia yang bergenre horor banyak menampilkan pemain berpakaian seksi dan boleh dibilang lebih menjurus ke pornografi. Tak heran jika melihatnya, kita tidaklah merinding karena ketakutan tetapi 'merinding' karena penampilan para pelaku film tersebut. Jika demikian, misi horor yang dibawa oleh film-film dalam negeri pun gagal disampaikan kepada pemirsanya.
Untuk genre horor, sampai saat ini sepertinya belum ada film (atau tayangan televisi) dalam negeri yang benar-benar bisa membuat penonton tercekam rasa takut. Dari segi adegan, dialog, efek dan musik, para sineas dalam negeri perlu belajar lebih banyak kepada hasil karya dari luar negeri. Dan serial Friday The 13th ini mungkin bisa dijadikan contoh sebagai serial horor yang benar-benar horor.
Nah, bagi rekan-rekan kompasianer yang menggemari tayangan horor, tak ada salahnya jika mulai mencari kembali seri-seri Friday The 13th untuk dinikmati. Kesan horornya pasti tak akan terlupakan, apalagi bila ditonton di hari Jumat, 13 Juli 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H