Sam Leinad (82)
***
Helicar wana silver masih berkeliling memonitor keadaan Distrik 3. Sesekali helicar itu terbang rendah beberapa meter saja dari jalanan, bergerak di antara apartemen kumuh yang dijejali ribuan warga Distrik 3.
“Monitor, monitor. Bagaimana situasi disana, Prana?”
Pria di dalam helicar itu pun mengangkat radio komunikasi yang berada di sisinya.
“Distrik 3 clear, Komandan. Semua terkendali.”
“Laporan diterima. Silakan kembali ke markas. Besok pagi masih ada tugas penting yang harus kamu lakukan.”
“Siap, Komandan.”
Prana melirik tulisan digital yang tertera di kabin yang menunjukkan “15 Sep 2313, 17:22” Segera diarahkannya helicar menuju markas garda nasional. Sejenak ia berputar rendah mengitari gedung, namun setelah dilihatnya tak ada lagi celah untuk memarkir kendaraan dinasnya di halaman maka Prana menuju area parkir di atap gedung yang memang tak terlalu diminati.
Pria muda bertubuh atletis itu pun keluar dari helicarnya. Dari atap gedung dipandanginya kondisi Distrik 3 dan distrik lainnya di Jakarta. Gedung-gedung tinggi saling berhimpit memagari jalan-jalan yang selalu macet dengan mobil dan sepeda motor. Bagi yang berduit banyak, mereka bisa menghindari kemacetan itu dengan menaiki helicar yang harganya sungguh fantastis. Tak banyak yang bisa menikmati kenyamanan helcar. Hanya pejabat pemerintah, garda nasional, serta pengusaha kaya saja yang bisa mencicipinya.
“Selamat sore, Jakarta. Entah kapan kau bisa beristirahat dengan nyaman,” gumam Prana sembari berjalan masuk ke gedung.
***
Aku tak bisa tenang menonton tv di partemen malam ini. Berkali-kali aku terbatuk, dan sudah hampir dua hari seperti ini.
“Sudah minum obat kamu, Citra?” tanya Rena teman satu ruangku.
“Biarin aja Ren. Nanti juga sembuh sendiri,” jawabku.
“Ya tapi jangan mengganggu lingkungan kayak gitu dong.”
Aku tersenyum kecut. Lalu aku berdiri dari sofa dan melangkah meninggalkan Rena.
“Eh, mau kemana?”
“Bete ah. Tiap hari lihat berita tentang kemacetan, perampokan, demo, huru-hara…”
Aku menuju sebuah lemari. Aku ambil buku yang menjadi kesukaanku. Buku berjudul National History ini aku dapatkan dari perpustakaan tiga tahun lalu. Aku meminjamnya dan sampai hari ini belum aku kembalikan. Entah mengapa pihak perpustakaan tidak pernah menghubungiku untuk menanyakan perihal buku itu. Mungkin buku ini dianggap tak terlalu berharga, atau mungkin pihak perpustakaan sudah terlalu sering kedatangan pencuri-pencuri yang sengaja lupa mengembalikan buku yang dipinjam.
“Benar apa nggak sih foto-foto di buku ini memang pernah ada?” tanyaku.
“Hah?” Rena menoleh kepadaku.
“Iya ini.” Aku mengangkat buku setebal 238 halaman itu.
“Oooh…”
“Kayaknya bahagia banget, lihat anak-anak mandi di sungai. Pohon-pohon rindang yang menyegarkan. Atau keluarga yang sedang bersantai di taman.”
“ Ya semua tergantung kamu menganggapnya benar-benar nyata atau tidak. Lagi pula jika memang itu pernah ada, toh sudah beratus-ratus tahun lalu. Ya sudah menjadi semacam dongeng saja.”
Aku terus melihat foto dan membaca paragraf demi paragraf. Sebuah keindahan beratus tahun silam yang tentu saja jauh berbeda dengan keadaan saat ini.
Jakarta yang aku tahu adalah sebuah megadistrik padat penduduk. Apartemen dan gedung yang berhimpit berada di pusat distrik, sementara di lingkaran luarnya adalah gurun gersang. Tak ada pohon yang mampu tumbuh di tanahnya. Taman yang rindang? Ah, jangan sekali-kali bermimpi!
Hutan memang ada, tapi berpuluh-puluh kilometer ke arah selatan dari Jakarta. Untuk mencapainya juga tak mudah. Setiap orang yang melintasi perbatasan harus menjalani pemeriksaan ketat dari garda nasional. Semua dilakukan untuk menghindari kemungkinan menularnya penyakit dari satu distrik ke distrik lain.
Hampir mustahil menemui orang yang benar-benar sehat di Jakarta. Bisa dibilang semua warga mengidap penyakit. Semua terjadi karena terbatasnya air bersih yang harus dibayar dengan mahal untuk mendapatkannya. Setiap warga dijatah tak lebih dari 1.5 liter air setiap hari.
Kelangkaan air bersih konon bermula di jaman leluhur kami. Pemerintah dan senat yang korup tak pernah memikirkan kelangsungan sumber daya alam. Ijin-ijin untuk pembangunan gedung dan industri terus dikeluarkan, meski harus menggusur lahan-lahan hijau.
Sebuah kolam kecil adalah sesuatu yang mahal. Pejabat dan orang kaya yang menguasainya tak segan untuk membayar tentara untuk menjaganya dari pencurian air. Kolam Ria Rio di distrik utara sana dulu konon katanya adalah sebuah waduk, dan entah mengapa ukurannya menyusut sedemikian kecil.
Keadaan diperparah oleh gempa bumi besar tahun 2258, beberapa puluh tahun silam. Gedung-gedung hancur dan 20% populasi meninggal. Cukup lama Jakarta terpuruk dalam keadaan mengenaskan sebelum akhirnya mulai tertatih-tatih mencoba untuk bangkit kembali.
Aku jenuh dengan keadaan Jakarta ini. Aku ingin sesuatu yang baru di luar sana.
***
08:01. Bunyi alarm menyentak keheningan. Prana terbangun dari tidurnya.
“Sial! Kesiangan,” umpat petugas muda itu sambil meloncat dari tempat tidurnya. Segera diambilnya dua buah sachet tissue basah untuk membersihkan wajah dan tubuh bagian atas.
“Monitor, monitor”. Prana segera menyambar radio komunikasi untuk menjawab panggilan untuknya.
“Selamat pagi dengan Prana di sini. Siap menjalankan tugas.”
“Hari ini ada demo besar-besaran di gedung senat. Petugas polisi distrik akan dikerahkan untuk menjaga keamanan di tempat tersebut. Sebagian garda nasional akan bertugas di sana, sebagian lagi di perbatasan selatan. Dan kamu, pagi ini segera bergabung dengan anggota lain di perbatasan selatan.”
“Siap!”
Prana segera mengenakan seragam. Lantas ia keluar dari kamarnya menuju lorong yang berujung di pintu lift. Setelah menunggu beberapa lama, pintu itu terbuka dan masuklah Prana ke dalamnya. Lift bergerak ke atas dan tibalah Prana di lantai paling atas, lalu ia menuju atap gedung.
***
Lewat tengah hari. Aku bergegas turun dari apartemen. Ku hampiri sepeda motor di sudut apartemen dan segera mengendarainya.
Ini saat yang aku nanti-nantikan. Demo besar-besaran seperti hari ini tentunya akan menyedot konsentrasi media dan juga petugas keamanan. Aku akan menjalankan rencana yang sudah kusiapkan sejak lama untuk keluar dari Jakarta, apa pun resikonya.
Empat jam lebih aku bersusah payah harus menyisir jalanan macet. Beberapa kali hampir ku tabrak orang-orang yang berlalu lalang hari ini. Hingga akhirnya aku tiba di jalan terakhir menuju selatan, beberapa belas kilo sebelum perbatasan distrik.
Di depan sana seorang petugas memberikan kode agar aku meneghentikan motorku. Aku berpikir tak akan lolos dari pos pemeriksaan ini. Alih-alih melambatkan motor, aku malah terus tancap gas. Aku berhasil melewati petugas itu. Beberapa detik kemudian aku dengar raungan sirine di atasku. Sebuah helicar warna silver milik garda nasional membuntutiku. Dan kali ini aku tak mungkin menghindar dari kejarannya.
***
“Jadi kamu tanpa alasan jelas ingin pergi dari Jakarta? Kamu tahu ini melanggar aturan?” tanya petugas itu. Prana Winata, tulisan pada nametag di seragamnya.
Aku diam saja. Aku terlalu lelah menghadapi pertanyaan petugas-petugas dari sore hingga malam ini, termasuk pria kelima yang di depanku.
“Besok pagi kami akan membawamu kembali.”
Aku kemudian pura-pura tertidur, sambil berpikir keras bagaimana untuk bisa lolos dari pos ini.
Entah sudah berapa jam, keadaan benar-benar hening. Aku buka mataku, dua petugas terlelap di kursi itu. Dua lagi ada di kursi sana, juga sedang tertidur. Sementara si Prana entah kemana.
Setelah kurasa aman, aku bangkit dan berjalan perlahan meninggalkan pos itu. Dan beberapa meter kemudian aku segera berlari melintasi padang pasir yang gelap.
Malam ini aku terus berlari meninggalkan Jakarta yang pengap dan kumuh. Sebuah tempat impian baru yang indah aku harapkan bisa aku temui saat pagi nanti.
***
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H