Entah sudah berapa lama aku terkurung di laci ini. Barangkali delapan bulan. Atau sembilan. Jika benar, maka masih ada tiga atau empat bulan lagi aku bisa keluar dari sini. Lalu menghirup udara segar.
Laci kayu ini cukup nyaman. Bersih dan wangi.
Di dalam laci ini hanya ada aku, dan si kipas kayu berwarna putih itu. Sebenarnya, kipas itulah yang membuat laci ini menjadi wangi.
***
Hari masih pagi di Kampung Semampir. Matahari masih bersembunyi di balik pohon-pohon pisang. Bayang-bayang rumpun pisang itu masih panjang, menutupi hampir seluruh bagian rumah berdinding anyaman bambu.
Tak jauh dari rumah itu ada sebuah sumur berdinding buis beton, dilengkapi dengan kayu gawang dan kerekan untuk menimba air. Seorang bocah belasan tahun ada di samping buis, duduk di atas dingklik kayu. Darman, nama bocah itu, tengah mencuci singkong yang baru saja dicabutnya dari kebun.
"Mbok ya yang cekatan kalo kerja, Man," suara Sinom hampir saja membuat Darman melompat kaget. "Kalo sudah bersih, singkongnya direbus sampe matang. Nanti siang bawakan ke bapakmu di sawah. Sekalian sama kopinya, jangan sampe lupa!"
Darman hanya mengangguk, tanpa mengeluarkan sepatah kata untuk menjawab kalimat ibunya itu. Ia kemudian bangkit dari dingkliknya dan membawa beberapa potong singkong yang telah dicucinya ke dalam rumah.
***
"Pakne, sudah dapat orang buat jadi rewang di rumah kita?"