Akhir pekan kemarin saya berkunjung ke Bromo. Ini adalah kunjungan kedua saya. Jika 5 tahun lalu saya datang melalui jalur Probolinggo, maka kali ini saya datang melalui Pasuruan.
Tujuan utama kedatangan saya ke Pasuruan kali ini untuk mengikuti lari marathon yang menawarkan keindahan alam di kawasan Bromo. Sejak Sabtu siang saya sudah tiba di Tosari, Pasuruan untuk mengambil perlengkapan untuk perlombaan hari Minggu.
Sayangnya kondisi saya tidak begitu bagus. Sepanjang Sabtu perut rasanya tidak bersahabat, dan beberapa kali saya terpaksa buang air besar. Keadaan masih juga belum membaik saat Minggu pagi, namun saya berusaha tetap mengikuti lomba.
Selepas dari jalan perkampungan, rute berbelok menuju perkebunan. Saya mulai merasakan kekurangnyamanan pada perut. Pada kilometer kelima, ada satu rumah warga di tengah perkebunan yang saya singgahi sejenak untuk buang air besar.
Rute selanjutnya menyusuri single track, jalur yang hanya bisa dilintasi satu orang, yang meliuk-liuk di punggung bukit. Kondisi tubuh yang tidak fit memaksa saya hanya bisa berjalan kaki. Hingga akhirnya saya memutuskan berhenti pada kilometer kesepuluh dari total 42 kilometer yang semestinya harus ditempuh.
Senin pagi saya bermalas-malasan beranjak dari tempat tidur. Selain karena udara dingin yang agaknya masih betah menyelimuti kawasan Bromo, juga karena saya yang tidak begitu bergairah lantaran masih teringat kegagalan menyelesaikan Bromo Marathon sehari sebelumnya.
Keberadaan kampung kelir ini bermula ketika ada Festival Wirakarya Kampung Kelir Pramuka Jawa Timur pada bulan April hingga Mei 2018. Tosari ditunjuk menjadi salah satu tuan rumah. Melalui kegiatan bakti Pramuka tersebut, rumah-rumah warga dan sarana umum dicat penuh warna.Â
Kampung kelir ini terletak di lereng bukit. Saya masuk dari sisi bawah Dusun Ledoksari melintasi gang yang hanya bisa dilalui oleh sepeda motor dan pejalan kaki. Tidak banyak warga yang saya lihat, mungkin karena sebagian besar sudah berangkat beraktivitas.