dondong opo salak, duku cilik-cilik
andong opo becak, mlaku timik-timik
Penggalan lirik dari lagu anak-anak di atas tentunya banyak diingat oleh anak-anak yang lahir di era tahun '70-an dan 80-an. Dua kendaraan tradisional andong dan becak jumlahnya masih cukup banyak pada masa-masa itu. Jika becak bisa ditemukan hampir di setiap kota, bahkan di ibukota Jakarta, maka tidak demikian halnya dengan andong yang hanya berada di Yogyakarta. Dua kendaraan tradisonal tersebut sampai sekarang masih bisa dijumpai di Malioboro, meskipun jumlahnya kian berkurang.
Sekitar pukul 10.00 WIB saya melangkahkan kaki dari penginapan di Jalan Mataram menuju Malioboro untuk sejenak menikmati suasana pagi di jalan paling terkenal di Yogyakarta yang hampir tidak pernah sepi itu. Dari titik utara Malioboro, saya berencana berjalan menuju selatan. Tidak ada niatan berbelanja, hanya menikmati yang ada di depan mata saya apa adanya.
Perkembangan moda transportasi yang semakin modern memang memberikan dampak pada berkurangnya jumlah andong dan becak. Jika sebelumnya masih dipergunakan sebagai transportasi umum, andong kini bisa jadi hanya berfungsi menjadi transportasi untuk pariwisata. Jika pada pertengahan tahun 1900-an jumlah andong di Yogyakarta bisa mencapai 800-900 buah, kini jumlahnya berkurang cukup drastis yaitu hanya sekitar 520 buah saja.
Langkah saya menikmati Malioboro akhirnya terhenti di perempatan Kantor Pos Besar. Banyak wisatawan yang berkumpul dan mengabadikan momen pribadi mereka di Kilometer 0 Yogyakarta tersebut. Saya meninggalkan pusat kota Yogyakarta dan hendak menuju ke tempat kerabat di Bantul. Tentunya saya tidak menggunakan becak atau andong untuk menempuh perjalanan yang berjarak 15 kilometer tersebut.