Marathon, salah satu nomor lari jarak jauh, tentunya tidak mudah ditaklukkan oleh sembarang orang. Berlari sejauh 42,195 kilometer bukanlah hal yang gampang dilakukan apalagi oleh orang awam yang tidak memiliki bakat sebagai pelari. Namun bukan berarti hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Saya yang tidak memiliki latar belakang atau bakat berlari telah berhasil membuktikannya, meskipun memerlukan waktu tempuh yang lumayan lama. Dan saya pun yakin semua orang bisa melakukannya.
Berawal pada tahun 2009 ketika saya mengidap penyakit paru-paru, padahal saya bukan perokok. Bisa jadi karena saya perokok pasif, atau karena polusi udara. Saya sempat dirawat di rumah sakit beberapa hari dan dilanjutkan dengan rawat jalan selama satu tahun. Setiap hari saya harus menelan beberapa butir pil hingga akhirnya saya dinyatakan benar-benar sembuh. Pada saat menderita penyakit inilah saya sempat menanantang diri sendiri, apakah saya berani melakukan hal yang hampir mustahil bisa dilakukan oleh penderita paru-paru misalnya lari marathon.
Saya tidak langsung memulai olahraga lari setelah sembuh saat itu. Bulutangkis dan futsal menjadi olahraga yang sempat saya lakukan bersama teman atau tetangga untuk mengisi waktu luang. Namun akhirnya kedua olahraga tersebut mulai jarang saya lakukan karena seringnya terjadi ketidakcocokan waktu luang antara saya dengan teman yang lain. Bulan April 2015 akhirnya saya mulai beralih ke lari. Saya masih ingat awal-awal berlari mengelilingi lingkungan perumahan dengan mengenakan sepatu futsal, sebelum beberapa bulan kemudian saya beli sepatu lari.
Salah satu kemudahan berlari adalah bisa dilakukan seorang diri, di mana pun dan kapan pun. Namun di sisi lainnya, berlari seorang diri bisa menjadi sesuatu yang membosankan. Untuk membunuh rasa bosan tersebut, saya biasanya berlari sambil melakukan hobi saya yaitu memotret. Beberapa spot atau titik menarik di lingkungan tempat tinggal menjadi objek foto yang kemudian saya jepret dengan smartphone, atau bisa juga saya berswafoto dengan latar belakang tempat-tempat tersebut.Â
Dan biar terkesan kekinian, tak lupa foto-foto saya unggah ke media sosial. Pada masa-masa awal berlatih lari ini, kilometer-kilometer pertama terasa begitu berat dan cukup membuat nafas saya tersengal-sengal. Namun saya terus mencoba berlatih dan menambah jarak tempuh, dari mulai 3 kilometer, lalu ditingkatkan menjadi 5 kilometer hingga 10 kilometer dalam beberapa bulan latihan.Â
Setelah beberapa bulan berlatih, saya mulai mencoba mengikuti lomba lari. Tujuan saya untuk merasakan bagaimana atmosfer berlari bersama-sama ribuan peserta lainnya, dan sudah pasti naik podium adalah sesuatu yang mustahil saya raih. Superball Run 2015 adalah lomba yang pertama kali saya ikuti, dan saya memilih kategori jarak 8 mil (sekitar 12 kilometer).Â
Saya masih ingat lomba yang digelar hari minggu itu berbarengan dengan acara Kompasianival. Saya berangkat Sabtu siang dari Tangerang ke Gandaria, Jakarta untuk mengikuti acara Kompasianival. Sabtu malam saya menginap di salah satu hotel di Blok M untuk keesokan paginya mengikuti lomba lari yang akan mengambil start di Senayan.
Minggu pagi itu saya bangun pukul 05.30. Karena lomba dimulai pukul 6, saya hanya sempat cuci muka dan menggosok gigi lalu buru-buru keluar hotel. Beruntung ada taksi di depan hotel, yang kemudian mengantar saya menuju Senayan. Sampai patung bundaran Senayan taksi terpaksa berhenti karena sudah memasuki area CFD (Car Free Day).Â
Dari Bundaran Senayan saya berlari ke titik start yang ada di FX Senayan. Dari kejauhan saya mendengar suara semacam letupan pistol yang menandakan lomba telah dimulai. Jadi jika saat itu para peserta mulai berlari meninggalkan titik start ke arah timur (Semanggi), saya malah berlari dari barat menuju titik start. Ini menjadi lomba lari pertama yang tak terlupakan.
Tahun 2016 saya juga mengikuti beberapa lomba, dan marathon pertama yang saya putuskan untuk saya ikuti adalah di Borobudur. Satu bulan menjelang lomba saya berlatih lebih intensif untuk mempersiapkan diri menghadapi marathon pertama ini. Namun karena keterbatasan waktu berlatih mengingat saya juga bekerja, saya hanya bisa berlatih sejauh 21 kilometer saja. Satu minggu sekitar 2 kali latihan. Di hari H lomba, rupanya saya terlalu bernafsu berlari. Saya memulai lomba dengan kecepatan yang hampir sama saat latihan 21 kilometer.Â
Akibatnya pada kilometer ke-25 dan selanjutnya saya mulai kehabisan tenaga, ditambah kaki kiri yang terasa nyeri. Separuh terakhir lomba lebih banyak saya tempuh dengan berjalan kaki, hingga akhirnya saya menyentuh garis finish 40 menit lebih lambat dari batas waktu yang ditetapkan (7 jam).