Menyoal pariwisata Indonesia, maka kita tak akan pernah selesai untuk membahasnya. Setiap daerah memiliki pesona yang akan membuat setiap orang yang mengunjunginya selalu terkagum. Keindahan alam mulai dari laut, pantai, hutan, sungai sampai gunung adalah objek-objek yang menarik untuk dibidik melalui lensa atau diulas dalam tulisan. Kompasiana, sebuah media daring yang menyajikan beragam tulisan, adalah sebuah tempat yang tepat bagi warga untuk berbagi cerita termasuk tentang keindahan Indonesia.
Tiga tahun lebih bergabung di rumah besar ini, saya banyak membaca tulisan-tulisan menarik dan khas dari para kompasianer. Kanal wisata adalah salah satu kanal yang hampir tak pernah untuk tidak saya baca. Keindahan foto dan kekhasan reportase tentang pariwisata Indonesia di Kompasiana memang menarik untuk dinikmati. Selama tiga tahun itu pula, beberapa tulisan tentang wisata juga saya tulis di Kompasiana. Ada kebanggaan tersendiri ketika saya juga ikut menceritakan pesona Indonesia. Apa yang saya lihat dan rasakan saat berkesempatan berkunjung ke beberapa daerah, saya bagikan melalui tulisan dan beberapa jepretan kamera saku dan ponsel.
RT @KOMPASIANIVAL: Bincang2 travelling bersama kompasianer. Berbagi cerita menjelajah indonesia #Kompasianival2013 pic.twitter.com/FYohmEZA0i— daniel mashudi (@samLeinad) November 23, 2013
Kompasianival 2013 lalu adalah hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya ketika saya diberikan kehormatan untuk mengisi salah satu sesi tentang wisata bersama dua kompasianer lain, Mas Dhanang dan Mbak Olive. (Keduanya yang memiliki reputasi di bidang blogging, kembali mengisi sesi di Kompasianival 2014 nanti). Durasi membuat kami tak bisa berpanjang lebar menceritakan pengalaman masing-masing. Padahal tentunya banyak hal-hal menarik yang belum diceritakan oleh Mas Dhanang yang tidak suka masakan pedas tersebut selama mendaki gunung atau menyelam di laut, juga Mbak Olive saat mendatangi museum dan kuburan di beberapa daerah.
Pada tulisan kali ini saya mencoba berbagi satu hal yang belum pernah saya tulis sebelumnya, yaitu mengenai solo traveling. Beberapa perjalanan yang saya lakukan bisa dikatakan sebagian merupakan solo traveling. Kebanyakan orang mungkin menganggap bepergian sendiri adalah hal yang tidak disukai dan menjadi pilihan terakhir. “Apa sih enaknya jalan-jalan sendirian,” mungkin begitulah komentar yang sering didengar. Padahal di sisi lain, solo traveling memiliki keasyikan sendiri jika dibanding dengan traveling bersama beberapa orang.
Rencana yang Matang namun Fleksibel
Setiap hal memerlukan persiapan atau rencana. Untuk solo traveling, mau tak mau kita sendiri yang hartus terlibat dalam perencanaannya secara matang. Mencari informasi tentang tempat yang akan dituju bukanlah hal yang sulit lagi di era internet saat ini, mulai dari objek wisata, biaya perjalanan, tempat menginap, dan hal-hal lain.
[caption id="attachment_327709" align="aligncenter" width="600" caption="Self picture di Stasiun Sawah Lunto"][/caption]
Aktualnya, kadang rencana yang telah kita susun tidak berjalan semestinya. Cuaca yang tidak bersahabat, jalan macet dan beberapa faktor lain bisa menjadi penyebabnya. Enaknya ber-solo traveling, kita bisa melakukan perubahan rencana se-fleksibel mungkin sesuai keinginan kita. Kunjungan saya ke Sawah Lunto tidak pernah saya rencanakan jauh-jauh hari sebelumnya, dan baru saya putuskan ketika saya sudah ada di Padang. Dan saya tak menyesal bisa menyaksikan peninggalan sejarah di kota tambang tersebut sekaligus merasakan sensasi naik kereta api dengan pemandangan sekitar yang menakjubkan.
Berkenalan dengan Orang-orang Baru
Melakukan perjalanan bersama teman-teman cenderung membuat kita ‘hanya’ bergaul dengan teman-teman seperjalanan tersebut. Berbeda dengan solo traveling, maka kita akan menemukan orang-orang baru dalam perjalanan kita. Selanjutnya kita bisa berbagi pengalaman dengan mereka.
[caption id="attachment_327712" align="aligncenter" width="600" caption="Begadang di Jam Gadang (dok. pribadi)"]
Di Bukittinggi, saya bertemu dengan Bang Rey. Banyak informasi yang saya dapatkan dari Bang Rey mengenai Bukittinggi dan badut-badut di Jam Gadang. Dalam kesempatan itu pula saya bisa merasakan suasana Jam Gadang hingga dini hari. Bang Rey berjualan kaos di Jam Gadang malam itu, dan saya ikut ‘menemaninya’. Tak banyak pembeli waktu itu, dan Bang Rey ‘memanfaatkannya’ dengan bermain kartu bersama teman-teman penjual di areal Jam Gadang. Hingga dini hari, barulah kami beranjak dari Jam Gadang, mampir makan nasi goreng di salah satu warung, dan selanjutnya saya menginap di rumah Bang Rey.
Kejutan yang Tak Terlupakan
Salah satu perjalanan yang paling berkesan bagi saya adalah ketika berkunjung ke Gunung Padang, Cianjur. Bermula dari jalanan macet saat berangkat, saya sampai di Gunung Padang sudah terlalu sore. Karena tak memungkinkan kembali ke Tangerang hari itu juga, saya menginap di rumah penduduk. Sungguh di luar dugaan, bapak tua yang rumahnya saya inapi adalah seorang staf paspampres di era Presiden Soekarno dan Soeharto.
[caption id="attachment_327713" align="aligncenter" width="600" caption="Potret Pak Tatang (dok. pribadi)"]
Sepulang dari Cianjur saya menuliskan kisah Pak Tatang, nama bapak tersebut, dan kondisinya yang sangat bersahaja. Tulisan saya posting di Kompasiana pagi hari dengan judul Potret Suram Seorang Pensiunan Staf Paspampres, dan siang harinya saya ditelpon Mas Nurul (admin Kompasiana) untuk mengonfirmasi tulisan yang saya buat. Selanjutnya tulisan di Kompasiana ini di-hibrid oleh Kompas.com dengan judul Hidup Prihatin Setelah Mengabdi Negara 30 Tahun. Satu blog jurnalis internasional yang menulis tentang citizen journalism Kompasiana, dalam salah satu tulisannya menyebut nama saya di antara nama-nama kompasianer yang sangat kondang seperti Pak JK, Pipiet Senja, Melanie Subono dan Pak Prayitno Ramelan.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H