Bermain, sebuah kata yang selalu dilakukan (hampir) semua orang saat masih anak-anak. Bermain menjadi kegiatan menyenangkan, dan adalah hak yang harus dimiliki setiap anak. Perserikatan Bangsa-Bangsa menjamin bermain sebagai salah satu hak bagi anak, yang tertuang dalam Konvensi Hak-hak Anak yang disetujui pada 20 Nopember 1989. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 pada pasal 11 menyebutkan “Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.”
Berkejar-kejaran, memanjat pohon, menendang bola adalah kegiatan yang disukai anak laki-laki pada umumnya. Sementara anak-anak perempuan menyukai bermain boneka, merias wajah, juga ‘pasar-pasaran’ (berjual beli). Bermain adalah cara anak untuk berinteraksi, tak hanya dengan anak-anak lainnya tapi juga interaksi dengan lingkungannya.
[caption id="attachment_335584" align="aligncenter" width="600" caption="(Dok. pribadi)"][/caption]
Lingkungan yang berbeda memengaruhi anak untuk bermain dalam bentuk yang berbeda pula. Kota, gunung, laut, atau pantai yang tersebar di sepuluh ribu lebih pulau-pulau di Indonesia membuat anak-anak selaksa nusa itu memiliki beragam cara untuk bermain. Anak-anak yang tinggal di perkotaan atau lingkungan perumahan, mereka bisa bermain sepeda atau ayunan bersama teman-temannya di taman maupun lapangan yang ada.
Lain di kota, lain pula di pedesaan. Suatu siang di Tomok, Samosir, saya melihat dua anak yang begitu asyik memancing di tepi Danau Toba. Dengan media seadanya berupa tali pancing yang dililitkan ke botol plastik, keduanya larut dalam keasyikannya meski hari begitu terik. Masih di pinggiran Toba, berkilo-kilo meter dari tempat kedua anak Tomok tadi berada, anak-anak di Parapat memiliki cara menyenangkan lainnya dalam bermain. Di pelabuhan penyeberangan Parapat, beberapa anak saya lihat berenang-renang di air danau tak jauh dari feri-feri yang bersandar. Sejurus kemudian, penumpang feri melemparkan uang logam ke air danau. Anak-anak itu pun berenang dengan gesitnya menuju tampat di mana koin jatuh, lalu menyelam ke dalam danau, dan tak lama kemudian muncul ke permukaan dengan uang logam yang sudah ada di tangan atau digigit di antara gigi atas-bawah mereka.
[caption id="attachment_335585" align="aligncenter" width="600" caption="(Dok. pribadi)"]
Kegembiraan anak-anak saat bermain di air juga saya saksikan di ujung selatan Sumatera. Di Kiluan, salah satu desa di pesisir Lampung, anak-anak desa itu begitu ramah berbincang dengan para pengunjung. Di salah satu laguna yang ada di desa itu, anak-anak tersebut asyik bermain bersama pengunjung menikmati segarnya air di tengah hari. Di Pulau Pahawang, sebuah pulau di Teluk Lampung yang indah, saya kagum sekaligus cemburu melihat keceriaan anak-anak setempat yang mahir bak atlet renang atau loncat indah.
[caption id="attachment_335587" align="aligncenter" width="600" caption="(Dok. pribadi)"]
Pulau Maratua, salah satu pulau di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur yang memiliki keindahan laut. Suatu pagi di bulan Desember dengan cuaca yang tak bersahabat. Gerimis kecil masih tersisa pagi itu setelah beberapa jam sebelumnya hujan deras mengguyur Maratua. Gelombang laut lumayan tinggi beberapa hari terakhir. Masyarakat dipimpin oleh tetua desa bersiap-siap mengadakan acara memohon keselamatan kepada Sang Esa, dan anak-anak Maratua asyik bermain di pantai dan air laut. Begitu upacara mulai, semua penduduk termasuk anak-anak berkumpul melingkar. Dan di akhir upacara, terlihat sukacita terpancar dari wajah anak-anak itu saat menerima ketupat atau panganan lain yang dibagi-bagikan.
Hidup dalam kesederhanaan bukan berarti tanpa kebahagiaan. Setidaknya hal itulah yang saya tangkap dari masyarakat Badui di Lebak, Banten. Ketika masyarakat lain akrab dan bergelimang dengan segala hal yang berbau modernitas, suku Badui memilih untuk tetap bersahaja dan berpegang teguh pada tradisi leluhur. Namun kebersahajaan ini tidak menjadi penghalang bagi anak-anak Badui yang begitu menikmati bermain gamelan. Bahkan saya akhirnya bergabung dalam keriaan itu beberapa saat lamanya.
[caption id="attachment_335589" align="aligncenter" width="600" caption="(Dok. pribadi)"]
Namun tak selamanya anak-anak negeri ini mendapatkan sepenuhnya hak untuk bermain dengan semestinya. Konflik keluarga, kondisi sosial atau kemiskinan bisa menjadi salah satu penyebab hal tersebut. Anak-anak yang lari dari keluarganya misalnya, terpaksa menjalani ‘permainan’ baru yang mau tak mau harus mereka lakukan untuk sekedar bertahan hidup.
Sepintas tidak ada yang aneh ketika saya melihat badut-badut yang berada di sekeliling Jam Gadang, Bukittinggi. Dengan kostum warna-warni yang terkesan jenaka, badut-badut ini selalu sigap ketika diajak oleh pengunjung untuk berfoto. Bahkan tak segan mereka sendiri yang menawarkan diri kepada para pengunjung untuk berfoto. Tentu saja, imbalan atau tip beberapa ribu rupiah diterima badut-badut ini dari pengunjung.
[caption id="attachment_335591" align="aligncenter" width="600" caption="(Dok. pribadi)"]
Di tengah panasnya Bukittinggi saat itu, beberapa badut membuka kostum kostum bagian kepala sehingga kelihatanlah wajah asli orang di dalamnya. Barulah saya tahu bahwa mereka masih anak-anak, hal yang tak saya ketahui sebelumnya mengingat tinggi badut yang seimbang dengan tinggi orang dewasa. Ah, mereka mungkin anak-anak sekolah yang sedang refreshing atau mengisi waktu libur. Begitu pikir saya waktu itu.
Tentang mereka yang saya pikir adalah anak-anak Bukittinggi yang masih bersekolah, ternyata tidaklah 100% benar. Kebanyakan mereka sudah tidak sekolah lagi dan berasal dari luar Bukittinggi, yaitu anak-anak yang kabur dari rumah orang tua mereka. Begitulah info yang saya terima dari teman asli Bukittinggi yang sedang menemani saya waktu itu.
Masih banyak daerah lainnya yang ada di Indonesia, dan tentunya setiap daerah memberikan dunia bermain yang beragam kepada setiap anak-anak. Gelak tawa dan wajah ceria tentunya menjadi hal yang ingin kita lihat dari anak-anak yang ada di Sabang, Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku hingga Papua. Kita sebagai keluarga, masyarakat dan pemerintah harus memerhatikan anak-anak yang kelak menjadi generasi penerus Indonesia. Dan sudah sepantasnya anak-anak selaksa nusa itu mendapatkan sepenuhnya hak mereka: bermain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H