Bunyi antan yang menumbuk lesung terdengar bersahutan membentuk ritme khas. Disusul dengan suara gamelan jawa bertempo rancak sebagai intro atau pembuka, lalu mulailah tembang itu dinyanyikan:
ayo ayo kanca tilingana
kanca piyarsakna, enggal katindakna
desa kuwi ‘wit kuna wis mesthi
tansah dadi obyek ning saiki ganti
modernisasi desa pembangunan desa
ya tegese kuwi tho
kudu dadi subyek melu nemtokake
ing bab politik ekonomi lan sosial
lan kabudayan duwe oto aktivitas
mrih kang tundhone kanggo mbrantas pengangguran
modernisasi desa, modernisasi mental
modernisasi desa sa-Indonesia
yang dalam bahasa Indonesia artinya:
ayo ayo sobat dengarkan
sobat perhatikan, segera laksanakan
desa itu sejak awal memang
selalu menjadi obyek tapi sekarang berganti
modernisasi desa, pembangunan desa
yang artinya itu
harus menjadi subyek untuk ikut menentukan
dalam politik ekonomi dan sosial
dan kebudayaan punya aktivitas mandiri
agar pada akhirnyadapat memberantas pengangguran
modernisasi desa, modernisasi mental
modernisasi desa se-Indonesia
Tembang jawa yang berjudul ‘Modernisasi Desa’ ini saat tahun 80-an sering saya dengarkan setiap pagi di beberapa radio, saat saya masih tinggal di Pati, Jawa Tengah. Seingat saya, tembang ini sepertinya menjadi lagu wajib di radio-radio yang ada saat itu. Mungkin hal ini berlaku juga di kota-kota lainnya. Jauh dua dasawarsa sebelumnya, adalah Alm. K. R. T. Wasitodipuro (dikenal juga dengan K. P. H. Notoprojo dan K. R. T. Wasitodiningrat) sebagai nama di balik lagu tersebut.
Salah satu torehan karya K.R.T. Wasitodipuro yang direkam di Lokananta dan melegenda lestari hingga saat ini adalah album piringan hitam ‘Djawa Tengah Membangun dengan Modernisasi Desa’, sebuah koleksi sumbangan Gubernur Jawa tengah yang diproduksi atas kerjasama Karyawan Direktorat Agraria Jawa Tengah, RRI Semarang dan Ki Nartosabdho di tahun 1967. Lagu mBangun Desa, Modernisasi Desa, Stambuk Badju Biru atau Krontjong Telomojo yang ditulis oleh K.R.T. Wasitodipuro di album ini, begitu lekat di telinga para penggemar musik tradisional Jawa kala itu.
Nama K. R. T. Wasitodipuro bisa disejajarkan dengan maestro musik dunia. Karya beliau lainnya yaitu gending Ketawang Puspawarna terpilih bersama karya Johann Sebastian Bach, Wolfgang Amadeus Mozart, Ludwig van Beethoven dan beberapa nama lain yang direkam oleh badan antarikasa Amerika Serikat (NASA) dalam piringan Voyager Golden Records tahun 1970-an. Pada tahun 1983, penghargaan tinggi juga diberikan NASA kepada sang maesro gamelan, ketika nama ‘Wasitodiningrat’ diabadikan dalam International Star Registry dan tercatat di Library of Congress sebagai nama sebuah bintang yang terletak di rasi bintang Andromeda.
Kembali ke tembang Modernisasi Desa, lirik-lirik tentang pembangunan desa begitu ‘menghipnotis’ saya waktu kecil dahulu. Sebuah gambaran desa yang maju dan mandiri tercermin dalam bait-bait tembang itu. Harus menjadi subyek untuk ikut menentukan dalam politik ekonomi dan sosial dan kebudayaan, begitulah penggalan lirik yang bagi saya bermakna luar biasa.
Mewujudkan sebuah desa menjadi subyek dalam pembangunan, tentulah bukan perkara mudah. Dalam pemikiran saya, pun sebagian besar kita semua, posisi desa berbanding terbalik dengan hal tersebut. Siapa pun yang menjabat sebagai pemerintah dari periode ke periode, selama ini desa selalu sebagai obyek pembangunan. Hal ini terkait dengan sumber daya yang bisa dikatakan terbatas, baik manusia maupun modal. Perlahan desa sebagai subyek pembangunan bak sebuah gambaran yang kian meredup ditelan waktu. Desa tetaplah desa seperti yang dulu: miskin dan tertinggal. Maka tak heranlah jika kemudian masyarakat desa berbondong-bondong ke kota untuk menikmati apa yang disebut kue pembangunan.
Revolusi dari Desa
Belum lama ini saya membeli beberapa buku di Gramedia Lippo Karawaci. Salah satu dari buku-buku tersebut berjudul “Revolusi dari Desa, Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat”. Buku besampul biru ini memiliki gambar ilustrasi sebuah tangkai tanaman di mana terdapat sebuah ulat yang bermetamorfosis menjadi kepompong kemudian kupu-kupu. Sebuah perubahan menjadi sebuah pesan yang ingin disampaikan oleh penulis buku, Dr. Yansen TP., M.Si.
[caption id="attachment_338834" align="aligncenter" width="640" caption="dok. pribadi"][/caption]
Yansen TP yang tak lain adalah Bupati Malinau, sebuah kabupaten di provinsi Kalimantan Utara, menyorot kegagalan pembangunan yang selama ini terjadi. Jurang kemiskinan semakin lebar dan sebagian besar masyarakat menjadi sangat termarginalkan. Kesalahan konsep pembangunan menyebabkan banyak sekali tujuan pembangunan yang tak tercapai. Modal dan strategi yang dijalankan pemerintah tidak menyentuh aspek dasar. Pun kekuatan yang ada di masyarakat tidak terakomodasi. Memang benar angka pertumbuhan ekonomi (GNP, GDP atau pendapatan per kapita) menunjukkan keberhasilan, namun tidak terlalu mengeser esensi masalah yang dihadapi: kemiskinan.
Untuk itulah konsep dan strategi pembangunan harus diubah, dan itulah yang sudah dilakukan oleh Yansen TP dengan melakukan langkah-langkah revolusioner dalam melaksanakan pembangunan. Pengalamannya selama menjadi camat sampai sekretaris daerah, dan saat ini sebagai bupati Malinau ditulisnya dalam buku Revolusi dari Desa. Sebuah konsep baru dengan nama GERDEMA (Gerakan Desa Membangun) dilakukan.
Konsepsi GERDEMA memiliki cara pandang yang spesifik dan fokus terhadap desa, sebuah kebijakan inovatif yang percaya sepenuhnya kepada masyarakat desa. Apabila diberikan kepercayaan dan tanggung jawab, maka masyarakat desa akan mengemban kepecayaan itu dengan baik. Masyarakat desa yang dipercaya dan diberdayakan, akan menjadi manusia terampil untuk menjalankan tugas dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan desa.
Dari, Oleh dan Untuk Rakyat
Konsep GERDEMA menempatkan rakyat sebagai kekuatan kunci dari gerakan pembangunan di Malinau. Karena sejatinya masyarakatlah yang mengerti dan memahami kebutuhan mereka, dan masyarakatlah yang mengerti bagaimana mengelola potensi yang ada di desa mereka. Pencapaiannya tentu tergantung dari kualitas sumber daya manusianya dan tingkat partisipasi masyarakat. Apa yang menjadi konsep GERDEMA ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tetang Desa yang baru saja berlaku. UU Desa tersebut menegaskan betapa pentingnya peran dan kedudukan desa dalam menjalankan tugas dan wewenang mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat.
Dalam konsep GERDEMA, masyarakat menjadi kekuatan utama dalam pembangunan. Prinsip dasarnya memberikan kepercayaan penuh pada masyarakat (dalam hal ini pemerintah desa) untuk mengelola dan mengurus rumahtangga desa untuk kesejahteraan rakyatnya. Malinau tidak hanya menjadikan hal tersebut sebagai wacana, namun telah membuktikan keberhasilannya. Sumber kekuatan pembangunan datangnya dari rakyat dan pengelolaan yang berdasarkan karakteristik kearifan lokal, maka hasilnya secara langsung dinikmati oleh masyarakat desa itu sendiri. Kesimpulannya, 3 hal yang menjadi esensi konsep GERDEMA adalah:
1.Gerakan itu berasal dari rakyat. Masyarakatlah yang terlibat langsung dalam evaluasi, pemetaan dan kalkulasi potensi dan permasalahan desa, yang selanjutnya ditetapkan sebagai materi perencanaan.
2.Gerakan itu dilakukan oleh rakyat. Apa yang telah ditetapkan dan direncanakan, seluruhnya dilakukan oleh masyarakat desa.
3.Gerakan itu menghasilkan manfaat untuk masyarakat desa.
Peran Pemimpin
Kepemimpinan merupakan salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan layanan masyarakat. Dalam GERDEMA, pemimpin harus memiliki nilai-nilai utama yang meliputi nilai kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, ekonomi dan nasionalis kebangsaan. Dengan kelima nilai tersebut, pemimpin akan memiliki kesempurnaan akal budi dan kepedulian sesame manusia serta alam berdasarkan keyakinannya kepada Tuhan; memiliki kekuatan dalam bentuk kerendahan hati, sabar, sikap mengasihi sesama, dan kelemahlembutan; memiliki nilai yang berkaitan dengan kualitas otak, hati dan jasmani yang memengaruhi kulaitas interaksi dengan pihak lain; memiliki kemampuan memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh desa; dan memiliki jiwa cinta tanah air.
[caption id="attachment_338835" align="aligncenter" width="640" caption="dok. pribadi"]
Keberhasilan GERDEMA
Pemerintah Daerah Kabupaten Malinau secara konsisten menjalankan GERDEMA sejak tahun 2012, dan kini telah membuahkan hasil positif. Keberhasilan GERDEMA ini dituliskan dalam Bab VII, yang menampilkan perbandingan kondisi masyarakat sebelum dan sesudah berjalalannya GERDEMA.
Beberapa contoh keberhasilan tersebut misalnya dalam hal kepemimpinan, jika sebelumnya tidak ada pemimpin yang kapabel baik aparat desa maupun lembaga desa karena lemahnya peran pemerintah desa sehingga pelaksanaan tugas berjalan seadanya, maka sesudah berjalannya GERDEMA muncul pemimpin yang kapabel karena peran pemerintah yang semakin kuat dalam peningkatan mutu SDM.
Dalam hal perekonomian desa, kondisi yang sebelumnya belum berkembang dengan baik karena fokus pembangunan lebih dititikberatkan pada perkotaan selanutnya telah berubah dan berkembang lebih baik serta lebih cepat karena orientasi pembangunan yang berpihak kepada desa. Hasil MONEV sebanyak 77,85% masyarakat menyatakan bahwa GERDEMA berdampak positif terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Keberhasilan GERDEMA di Malinau sudah seyogyanya menjadi inspirasi bagi daerah lainnya. Tiap wilayah atau desa dengan ciri khas dan kekayaan alam maupun budaya masing-masing, tentunya menjadi modal penting dalam pembangunan. Masyarakat desa itulah yang mengerti kekuatan yang dipunyainya, sekaligus perlu dibina untuk mengelolanya agar mereka sendiri yang nantinya menikmati. Sudah saatnya desa tidak lagi menjadi obyek, namun berevolusi menjadi subyek di dalam pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H