Mohon tunggu...
Daniel Mashudi
Daniel Mashudi Mohon Tunggu... Freelancer - Kompasianer

https://samleinad.com E-mail: daniel.mashudi@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mulai Berbenah, Jalan Raya di Depan Pasar Cikupa Tidak Lagi Macet

21 Desember 2014   04:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:50 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_342311" align="aligncenter" width="640" caption="Pasar Cikupa, Tangerang (dok. pribadi)"][/caption]

Melintasi jalan raya Tangerang – Serang, kemacetan di KM 15 tepatnya di depan Pasar Cikupa bisa jadi akan membuat para pengguna jalan jengkel. Para pedagang acap meluber sampai pinggir jalan raya, bahkan pada jam-jam tertentu sebagian jalur jalan negara tersebut dipakai oleh pedagang untuk menggelar barang dagangan sehingga hanya menyisakan ruang sempit bagi kendaraan yang melintas. Tak ada ruang tersisa bagi pengunjung untuk memarkir kendaraan, sehingga bahu jalan menjadi pilihan satu-satunya untuk tempat parkir tersebut. Tumpukan sampah sering dijumpai menggunung di beberapa titik di pinggir jalan tersebut membuat pemandangan semakin mengenaskan. Belum lagi jika hujan turun, maka bisa dibayangkan bagaimana sampah-sampah yang bercampur air tersebut akan memperparah keadaan.

[caption id="attachment_342319" align="aligncenter" width="640" caption="Duh, macetnya!!! (dok. pribadi)"]

1419085605142678788
1419085605142678788
[/caption]

Namun kondisi yang sudah terjadi bertahun-tahun tersebut sudah mulai berubah. Sudah seminggu terakhir kemacetan parah tak terlihat. Jika sebelumnya saya setiap hari berangkat bekerja memilih lewat jalan alternatif (jalan perumahan) yang memutar di belakang Pasar Cikupa, maka satu minggu terakhir ini saya melewati jalan utama di depan pasar tanpa mengalami kemacetan.

Pasar Cikupa, salah satu pasar rakyat di Tangerang, kini mulai berbenah. Hari Minggu lalu (14/12) saya melihat lapak-lapak pedagang yang berdiri di halaman pasar mulai dibongkar. Pedagang yang berjualan di halaman tersebut direlokasi ke kios-kios di dalam pasar yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Wajah semrawut Pasar Cikupa mulai berubah ke arah yang lebih, ditandai dengan jalan yang tak lagi macet.

[caption id="attachment_342314" align="aligncenter" width="659" caption="Kondisi di dalam pasar (dok. pribadi)"]

1419085298646981100
1419085298646981100
[/caption]

Apa yang terjadi pada Pasar Cikupa sebelum relokasi pedagang menjadi representasi sebagian besar pasar tradisional atau pasar rakyat di seluruh Indonesia. Kotor, lantai becek, atap bocor dan bau tak sedap. Tak heran jika kondisi ini membuat masyarakat merasa enggan dan tidak nyaman untuk berbelanja di pasar rakyat. Apalagi dengan berdirinya beberapa pasar modern dan supermarket yang jelas memiliki kondisi yang jauh lebih nyaman, masyarakat mulai berpaling dari pasar rakyat. Tak jauh dari Pasar Cikupa misalnya, hanya berjarak sekitar 100 meteran berdiri supermarket dengan kondisi jauh lebih nyaman dibandingkan dengan ‘saudara tuanya’ itu yang tentu saja menjadi pilihan yang lebih baik bagi masyarakat untuk berbelanja.

Di tengah serbuan swalayan, supermarket dan pasar-pasar modern lainnya, eksistensi pasar rakyat harus tetap dilestarikan. Hal ini terkait dengan sejarah yang melekat pada pasar rakyat, yang memiliki keunikan budaya tiap-tiap daerah. Pada umumnya pasar rakyat menyediakan barang kebutuhan sehari-hari, seperti beras, sayuran, telur, daging atau ikan. Namun pada beberapa pasar tertentu, keunikan bisa ditemukan. Kita tentunya mengenal uniknya Pasar Klewer di Solo dengan produk-produk batiknya, pasar terapung  Lok Baintan di Kalimantan Selatan, pasar di Tomohan yang terkenal dengan kuliner ekstrim, Pasar Sukowati di Bali dengan barang-barang seni, dan masih banyak pasar lainnya di berbagai daerah di Indonesia dengan keunikannya.

[caption id="attachment_342316" align="aligncenter" width="640" caption="Pembongkaran lapak di halaman pasar (dok. pribadi)"]

1419085436552534540
1419085436552534540
[/caption]

Pasar rakyat juga memiliki ciri lain yang tak bisa dijumpai di swalayan, supermarket atau hipermarket. Jika barang-barang dagangan di swalayan, supermarket atau hipermarket tersebut sudah dipatok dengan harga tetap yang tertulis pada label, maka pasar rakyat tak demikian. Tawar-menawar harga adalah hal yang lazim terjadi antara penjual dan pembeli di pasar rakyat. Interaksi inilah yang akhirnya membentuk sebuah ikatan emosional antara penjual dan pembeli, yang tentunya tidak akan pernah terjadi di pasar modern. Di pasar rakyatlah terjadi interaksi masyarakat dari beragam suku dan ras. Dengan demikian, keberadaan pasar rakyat tak semata urusan ekonomi, namun juga mencakup isu ruang dan relasi sosial, warisan dan ranah budaya.

Pasar rakyat juga memiliki posisi strategis dimana selalu menjadi indikator nasional dalam kaitannya dengan tingkat kestabilan harga dan inflasi domestik. Dalam menghitung inflasi, harga beras dan barang lain yang termasuk dalam sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako) yang dijual di pasar rakyatlah yang menjadi objek monitoring para ahli stastistik setiap bulannya.

[caption id="attachment_342317" align="aligncenter" width="640" caption="Lebih rapi dan tak macet lagi (dok. pribadi)"]

14190855011676151505
14190855011676151505
[/caption]

Meski mempunyai posisi yang vital, hal-hal negatif sering dijumpai dan sebenarnya menjadi ancaman bagi pasar rakyat. Pasar rakyat selalu diidentikkan dengan tempat yang kumuh, semrawut, kriminal yang tinggi, sampah berserakan, lorong yang sempit dan penyebab kemacetan jalan. Para pedagangnya juga susah diatur dan mengatur diri yang tentunya semakin menambah kesemrawutan pasar rakyat.  Petugas pasar yang diharapkan bisa mengontrol ketertiban, sepertinya tak bisa menjalankan fungsinya secara optimal.

Selain faktor internal tersebut, munculnya swalayan, supermarket atau hipermarket yang sudah disinggung pada bagian sebelumnya menjadi faktor eksternal yang mengancam eksistensi pasar rakyat. Hasil survei dari AC Nielsen tahun 2013, jumlah pasar rakyat mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Jika pada tahun 2007 jumlah pasar rakyat di Indonesia sebanyak 13.550, maka jumlahnya menurun menjadi 13.450 (tahun 2009) dan 9.950 (tahun 2011). Pertumbuhan pasar rakyat yang menunjukkan angka -8,1% (negatif) tertinggal sangat jauh dari pasar modern yang memiliki pertumbuhan 31,4%.

Melihat data-data di atas, sudah saatnya pasar rakyat perlu segera ‘diselamatkan’.  Undang-Undang Perdagangan No. 7 Tahun 2014 menyebutkan penggunaan pasar rakyat (sebagai pengganti istilah sebelumnya yaitu pasar tradisional), tentunya merujuk keikutsertaan rakyat / masyarakat untuk menjaga kelangsungan pasar rakyat tersebut. Kebijakan pemerintah (dalam hal ini adalah pemerintah daerah) dalam penataan pasar rakyat bersifat wajib. Apa yang telah mulai dilaksanakan di Pasar Cikupa menjadi contoh yang baik.

Selain penataan secara fisik, pemerintah daerah maupun manajemen pasar perlu untuk memberikan pembinaan kepada para pedagang. Kesadaran dan partisipasi pedagang pasar inilah yang menjadi kunci untuk mewujudkan kondisi pasar rakyat yang lebih baik dan nyaman untuk dikunjungi. Ke depannya pasar rakyat tetap menjadi kebanggaan dan kekhasan budaya tiap daerah, dan tumbuh bersama-sama pasar modern yang ada di sekitarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun