Segelas teh hangat yang masih mengepulkan uap warna putihnya menemaniku saat memulai kalimat pertama tulisan ini, sementara Whisky and Soda dari Roberto Delgado mengalun dari pemutar musik digital di laptop. Ratusan foto yang telah aku pindahkan dari kamera saku dan ponsel ke laptop masih saja menarik untuk aku lihat, ya, foto-foto yang aku ambil selama menjadi peserta sustainable mining bootcamp di Batu Hijau, Sumbawa bulan Januari silam.
Foto-foto pit, haul truck, dan lainnya itu membangkitkan pertanyaan di kepalaku: sampai kapan kegiatan pertambangan itu berlangsung dan apakah yang akan terjadi di Batu Hijau jika pertambangan sudah selesai. Sementara aku masih memikirkan (lebih tepatnya mengandai-andai) kemungkinan jawaban atas pertanyaan itu, aku teringat akan sebuah kota di Sumatera Barat yang pernah aku kunjungi saat ber-solo traveling akhir 2013 lalu.
Sawah Lunto, kota yang dulunya pernah menjadi penghasil batubara terbesar di Indonesia ini berada di perbukitan. Kini Sawah Lunto telah menjelma menjadi sebuah kota yang cantik. Peninggalan masa lalu sebagai area tambang yang masih terpelihara dengan baik dan juga kondisi alamnya yang indah menjadi daya tarik untuk berkunjung ke kota wisata tambang ini.
Aku mulai membandingkan Batu Hijau dengan Sawah Lunto, sebuah jawaban sederhana pun hadir atas pertanyaanku. Setidaknya Batu Hijau bisa mencontoh Sawah Lunto menjadi sebuah kota wisata tambang, jika suatu saat nanti kegiatan pertambangan tembaga telah purna. Beberapa tempat dan bangunan terkait pertambangan Batu Hijau memiliki potensi sejarah dan wisata di masa depan, sama seperti yang ku saksikan di Sawah Lunto.
[caption id="attachment_348151" align="aligncenter" width="560" caption="Pit Batu Hijau"][/caption]
Pit atau lubang tambang di Batu Hijau yang terisi air berwarna biru yang saat ini memiliki elevasi minus 240 meter di bawah permukaan laut, akan terus digali dan diperkirakan elevasi danau mencapai angka minus 435 meter pada tahun 2026. Danau ini nantinya tidak akan direklamasi, tetapi dipertahankan jika kegiatan tambang selesai.
[caption id="attachment_349247" align="aligncenter" width="560" caption="Lubang Mbah Suro di Sawah Lunto"]
Danau ini bisa menjadi potensi wisata di masa depan. Generasi-generasi kita selanjutnya dapat melihat dan berkeliling danau yang menjadi saksi atas aktivitas tambang yang pernah ada. Hal ini serupa halnya dengan ketika aku masuk ke Lubang Tambang Mbah Suro di Sawah Lunto. Jika lubang tambang di Batu Hijau adalah terbuka (open pit) dan berukuran luas, maka Lubang Mbah Suro berupa terowongan yang masuk ke perut bumi.
[caption id="attachment_349248" align="aligncenter" width="560" caption="Salah Satu Mesin Penghasil Konsentrat"]
Bangunan-bangunan di area tambang Batu Hijau juga memiliki potensi wisata di masa depan. Bangunan besar dan mesin-mesin pemroses batuan tambang yang juga berukuran besar, suatu saat nanti bisa menjadi museum yang sangat berguna. Kita bisa belajar bagaimana batuan digiling melalui proses SAG Mill, lalu digerus di Ball Mill, dipisahkan mineralnya melalui flotasi dan selanjutnya dikeringkan menjadi konsentrat.
[caption id="attachment_349249" align="aligncenter" width="560" caption="Tungku Raksasa di Museum Gudang Ransum"]
Sama seperti halnya Museum Gudang Ransum di Sawah Lunto, yang dulunya adalah sebuah dapur umum untuk menyediakan makan para pekerja tambang beserta keluarganya, pasien, dan lain-lain yang jumlahnya bisa mencapai ribuan orang. Di museum ini, dua buah tungku pembakaran berukuran raksasa buatan tahun 1894 masih bisa disaksikan.
[caption id="attachment_349250" align="aligncenter" width="560" caption="Haul truck yang berjajar"]
[caption id="attachment_349251" align="aligncenter" width="560" caption="Di antara roda-roda raksasa"]
Haul truck menjadi sebuah ikon yang tak bisa dipisahkan dari dunia pertambangan saat ini. Kendaraan yang tak ubahnya sebuah monster raksasa ini menjadi kendaraan paling seksi di Batu Hijau. Beberapa unit hal truck bisa ‘diinvestasikan’ untuk keperluan wisata tambang di masa depan. Sementara di Sawah Lunto, tepatnya di museum kereta api, sebuah lokomotif uap buatan Jerman yang disebut Mak Itam bisa dijumpai.
Keluar dari area utama tambang, perjalanan menuju dan dari Batu Hijau juga tak kalah asyik. Rute Pelabuhan Benete (Sumbawa) menuju Pelabuhan Kayangan (Lombok) menghadirkan pemandangan yang indah. Saat melintasi Selat Alas tersebut, dari atas kapal aku tak melepaskan pandangan dari Gunung Rinjani yang berdiri di kejauhan.
[caption id="attachment_349252" align="aligncenter" width="400" caption="Rinjani di kejauhan sana"]
Pemandangan serupa aku temui saat berada di atas kereta api dari Sawah Lunto menuju Batu Tabal. Hijaunya bukit dan persawahan menyejukkan pandangan. Aku bertambah takjub ketika dari balik jendela kereta menyaksikan keelokan Danau Singkarak.
[caption id="attachment_349253" align="aligncenter" width="560" caption="Di atas kereta dari Sawah Lunto"]
[caption id="attachment_349254" align="aligncenter" width="560" caption="Danau Singkarak"]
Teh di gelas hampir tandas, bersamaan dengan hampir selesainya paragraf terakhir yang aku tulis ini. Sebuah tulisan sederhana, yang tak lain hanyalah uneg-uneg seorang pejalan yang selalu menikmati setiap jengkal indahnya perjalanan di bumi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H