Keberadaan mal saat ini banyak menimbulkan pertanyaan. Apakah mal masih diperlukan? Sebagai tempat mengumpulkan pembeli, fungsi mal mirip pasar. Pembeli tidak perlu ke tempat yang terpisah, cukup datang ke pasar, kebutuhannya akan terpenuhi.Â
Secara lebih spesifik, pasar sering disebut berdasarkan fokus produk yang ditawarkan, seperti, pasar ikan, pasar buah , pasar barang bekas. Itu untuk lebih menjelaskan barang apa yang dijual di pasar tersebut.
Demikian juga dengan mal. Pada dasarnya mal menjual berbagai rupa produk. Berbeda dengan pasar, mal dibedakan berdasarkan segmentasinya. Ada mungkin mall untuk level high end seperti di Grand Indonesia atau Pondok Indah Mall, dan mall level biasa untuk mal yang lebih kecil seperti Arion Mall atau Serpong Mall.
Beberapa dekade lalu, mal memang menjadi tempat untuk berkumpul. Tidak jarang mal juga ditempatkan bersamaan dengan bioskop atau wahana bermain indoor sehingga sekaligus juga menjadi tempat tujuan refreshing sekeluarga sekaligus berbelanja.
Faktor Covid 19 jelas memukul sektor retail. Sehingga untuk jangka waktu hampir 2 tahun setiap orang menjadi tidak antusias untuk pergi ke mal karena pembatasan berinteraksi selama pandemi.Â
Setelah pandemi, pengusaha mal harus bangkit, seperti juga usaha lainnya yang rata rata berada di sektor retail, untuk kembali menghadirkan orang di mal untuk berbelanja.
Namun saat ini sepertinya ada kecenderungan yang berbeda. Orang memiliki pilihan untuk berbelanja diluar dari berbelanja di mal.Â
Maraknya belanja online tidak pelak lagi membuat orang menjadi lebih selektif untuk berbelanja di mal. Seringkali mal didatangi hanya untuk membandingkan harga. Lalu, kalau masalahnya ada pada keberadaan belanja online, semestinya semua mal akan menjadi tempat yang sepi. Namun kenapa ada mal yang masih ramai?
Lalu apa yang membuat saya, sebagai orang yang ingin belanja, lebih memilih mal ini, daripada mal itu?