Berbicara tentang banjir di Jakarta sebetulnya agak enggan. Karena banjir yang datang dengan siklus yang tetap setiap tahun, sepertinya agak susah meninggalkan kota ini.
Di Jakarta beberapa tahun lalu, banjir sudah bisa diminimalisir ke beberapa tempat. Namun kemudian banjir kembali melebar ke banyak daerah. Manajemen bencana yang sebetulnya sudah diketahui sebagai landasan berfikir, kemudian menjadi komoditas issue yang dipolitisir.
Dulu, Jakarta selalu dibandingkan dengan kota kota yang berada dibawah permukaan laut seperti di Belanda. Kota kota ini jarang banjir karena memiliki manajemen pengelolaan air yang baik. Kota di Belanda tidak pernah banjir, kenapa Jakarta tidak bisa?
Sekarang tidak usah jauh jauh membandingkan Jakarta dengan kota di Belanda. Jakarta perlu belajar dari Semarang yang selalu dilanda banjir limpasan air laut. Namun sekarang, dengan manajemen pengelolaan air yang baik, banjir yang melanda Semarang menjadi jauh berkurang.
Untuk menghindari pembahasan manajemen bencana menjadi terkesan subjektif politis karena masalah kepemimpinan kepala daerahnya, lebih baik kita kembali ke diri kita sendiri. Mari kita bahas faktor apa yang bisa kita lakukan untuk mengurangi akibat bencana.
Membuang sampah pada tempatnya. Kurangi memakai plastik agar tidak menjadi limbah.Termasuk di dalamnya membeli barang yang dibutuhkan saja.
Kita tahu istilah “garbage in, garbage out”, sampah yang kita buang berasal dari barang yang dibeli namun sebenarnya tidak dibutuhkan.
Istilah “lapar mata” sebetulnya menyiratkan sebetulnya kita membeli tanpa alasan yang jelas. Hal itu bisa terjadi terutama dalam kondisi saat ini dimana membeli hanya membutuhkan sentuhan jari di aplikasi marketplace.
Diskon besar-besaran dalam tempo singkat dengan hitungan countdown membuat kita sering gelap mata membeli barang. “Lapar mata” dengan beli di internet ini bahkan lebih parah daripada pergi ke mall dan melihat lihat barang display. Karena via internet, nyaris tidak dibutuhkan usaha untuk keluar rumah untuk membeli barang.
Alhasil begitu barang sampai di rumah, kita hanya bangga karena bisa membeli barang murah, namun sebetulnya tidak terlalu kita butuhkan. barang itu teronggok disudut rumah. Belum dibuang, tapi tidak dipakai. Hanya menunggu waktu saja barang itu akan terbuang. Karena memang prinsipnya sudah menjadi "sampah" karena tidak terpakai. Namun belum menjadi "sampah resmi" karena belum dibuang ke tempat sampah.