Mohon tunggu...
daniel lopulalan
daniel lopulalan Mohon Tunggu... Penulis - Student of life

Belajar berbagi. Belajar untuk terus belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menarik "Insight" dari Pendidikan Karakter

26 Agustus 2018   22:14 Diperbarui: 26 Agustus 2018   22:23 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : dokumen pribadi

Tulisan ini adalah refleksi dari tulisan yang dibuat oleh Bapak Idris Apandi di Kompasiana yang berjudul, "Pendidikan dalam Bingkai Penjaminan Mutu  Pendidikan." Dalam tulisan tersebut secara komprehensif  pak Idris banyak menyoroti peran sekolah sebagai ujung tombak layanan pendidikan yang menjadi tempat penggodokan karakter siswa.

Apakah benar ujung tombak pendidikan karakter hanya diserahkan pada sekolah? Sejauh mana efektifitas sekolah dalam memastikan konsistensi pendidikan karakter tersebut ?

Seperti kita tahu, pendidikan karakter itu susah susah gampang. Susah karena butuh konsistensi yang terus menerus dan lama, gampang karena bisa dimulai dari sikap keseharian yang sederhana yang bisa ditiru oleh anak didik kita.

Pendidikan karakter menjadi bahan diskusi yang tidak berkesudahan karena beberapa hal. 

Pertama, sulitnya lembaga formal seperti sekolah, agama sampai keluarga, memastikan proses berjalan konsisten dan berkelanjutan dalam pembentukan karakter yang diharapkan. 

Kenapa sulit? Karena referensi pendidikan karakter yang dimiliki adalah referensi historis, saat dulu pendidikan itu diterapkan dan dianggap menghasilkan sosok berbudi luhur yang kompetitif. Masalahnya, apakah referensi historis itu aplikatif untuk saat ini ketika anak didik mengalami jaman berbeda dari sisi kecepatan perubahan dan akses informasi ? Jangan jangan kita hanya try and error saja menyusun suatu formula yang kita sendiri tidak tahu apakah itu berhasil atau tidak ? 

Seperti saat ini.  Orang tua gagap melihat kecepatan anak muda mengetahui banyak hal dalam waktu singkat akibat dampak internet. Apa yang orang tua lakukan ? membatasi akses terhadap dunia Maya karena tidak mampu lagi menjawab pertanyaan kritis dari anak terkait konten yang dia baca ?

Saat ini pengetahuan dan informasi memang tidak lagi melulu menjadi otonomi sekolah ataupun keluarga. Sudah ada Mbah Google dan jutaan sumber informasi gratis yang dengan mudah diakses oleh ketikan jari dalam sepersekian detik. Sehingga bila pendidikan formal hanya fokus pada sharing pengetahuan, sudah pasti ketinggalan jaman. 

Pendidikan formal harus bisa menjadi teman untuk menjadikan pengetahuan itu sebagai bahan refleksi yang membuat anak didik mengerti tujuan praktis dan jangka panjang untuk dirinya. 

Masih teringat komentar beberapa siswa akan nilai untuk salah satu pelajaran," tidak usah ngerti isinya, yang penting bagus nilai saat ulangan. Toh itu gak akan dipakai lagi setelah ini." 

Ini menunjukkan Tujuan praktis pendidikan yang hanya mengejar nilai tanpa tahu guna ilmu itu diajarkan.

Hal yang kedua adalah, pendidikan itu bersifat massal. Asumsinya setiap orang adalah sama, treatment-nya mestinya sama juga dengan harapan hasilnya juga sama. 

Apakah memang demikian ? Mungkin saja kalau itu kita terapkan pada proses peradaban sebelum ini. Dimana saat itu, kebutuhan akan sumber daya manusia tidaklah kompleks karena perubahannya pun tidak cepat dan kompleks. Saat itu,  setiap manusia dianggap mampu belajar apapun, bekerja apapun sesuai dengan perubahan tadi. Itu dimungkinkan karena jumlah pekerja dibandingkan peluangnya, masih lebih banyak peluang kerjanya. Sehingga sistem pendidikan pun bersifat massal.

Bagaimana dengan sekarang ketika peluang kerja menjadi sempit dan kompetisi menjadi sengit ? 

Setiap orang dituntut sejak awal untuk menentukan apa spesialisasinya dan kemana dia akan menjalani kompetisinya. Dalam kaitan itu, pengenalan seseorang akan kelebihan dan kekurangan dirinya menjadi sangat penting. Persiapan itu, termasuk  pengenalan talenta yang dimiliki juga penting. 

Masalahnya, bagaimana siswa  mesti menjalani itu dalam sebuah kurikulum pendidikan yang bersifat massal? 

Mesti ada konversi pemahaman dari sekolah massal menjadi pemahaman yang bisa dipahami setiap individu untuk diimplementasikan kedalam keunikan dirinya yang bersifat personal.

Saat ini banyak sekali kebutuhan kerja yang bersifat sangat spesialis. Ketika dulu, anak kita suka bermain game dan dimarahi orang tuanya. Saat itu orangtua tidak bisa membayangkan akan punya masa depan apa anak yang suka main game. Saat ini jurusan game development sudah banyak ada di dunia. Bahkan bukan cuma itu, game development untuk animasi ataupun board game bisa menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri yang dibutuhkan. 

Lalu bagaimana cara kita mengkonversi pendidikan massal menjadi pendidikan yang unik aplikatif untuk setiap individu ?

Pertama, menjadikan sekolah tidak hanya sebagai wahana pemberian informasi satu arah, tapi juga menjadikannya sebagai bahan diskusi yang implementatif untuk kehidupan sehari hari. Hal ini sudah berusaha diimplementasikan dengan pendidikan tematik dalam kurikulum terakhir dan saya kira ini hal yang baik.

Kedua, menjadikan sekolah sebagai lahan pendidikan karakter dengan kegiatan ekstrakulikuler yang beragam. Kepala sekolah SMA saya menyatakan dengan bahasa gamblang bahwa sekolah adalah tempat untuk belajar hidup, lebih dari belajar secara akademis. Non scholae sed vitae discimus. 

Lalu bagaimana jika sekolah itu tidak menyediakannya ? Masih banyak pendidikan diluar sekolah yang tidak bisa disediakan sekolah formal tapi sangat baik untuk diikuti. Kursus tari Bali, biola, Menulis indah ala kaligrafi, melukis dan banyak lagi.

Seorang keponakan mendapatkan nilai hancur lebur di sekolah formalnya. Tidak naik sampe 2 kali. Tidak terhitung pindah sekolah dari SD sampe SMA. Tapi orang tuanya cukup bijak untuk tidak cepat mengambil kesimpulan bahwa dia bodoh dan tidak bermasa depan.

Diarahkannya anak ini ke pendidikan seni non sekolah. Saat ini, 5 tahun setelah jaman kegelapan itu, sang keponakan menjadi pemain viola yang sangat mahir kalau bukan disebut salah satu yang terbaik di Jakarta. Dia akan menempuh S2 Viola ke Perancis tahun depan. 

Pendidikan karakter pada akhirnya adalah sebuah kebebasan untuk menentukan yang terbaik sesuai dengan kemampuan , kelebihan dan kekurangan setiap individu. Kemampuan akan pemahaman diri inilah yang akan menimbulkan kepercayaan diri, integritas yang tidak sekedar mencari nilai dan penghargaan ke orang lain karena dia sudah menghargai dirinya sendiri.

Peran lembaga formal seperti sekolah dan lembaga agama tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Faktor kemampuan sosial mestinya lebih optimal didapatkan ketika seseorang menempuh pendidikan di sekolah daripada melalui pendidikan privat ala homeschooling. Atau, pengertian tentang adanya Sang pencipta yang menjadi dasar dari segala yang ada.

Itupun menjadi peran lembaga agama yang saya yakin menjadi peran yang berarti bagi pembentukan karakter anak didik. Apalagi sekarang kreatifitas pembentukan karakter melalui jalur agama pun sudah demikian bergaya Millenial melalui animasi, YouTube, dan channel sosial media lainnya.

Akhirnya, pendidikan karakter adalah tanggung jawab kita bersama. Keluarga sebagai basis terdekat dari sang anak menjadi basis terdepan dalam memberi contoh perilaku karakter yang paling efektif. Sekolah dan lembaga formal dan lembaga non formal lainnya melengkapi pendidikan karakter itu.

Jangan lupa, pendidikan karakter itu bersifat dinamis. Ketika anak kita bertumbuh besar,maka kita pun sebagai orangtuanya mesti bertumbuh dan banyak belajar. Tetap menjadi sahabat anak dengan selalu berdiskusi mengenai masalah yang dihadapi.

Jadikan diri kita sebagai pihak yang bisa mengartikan informasi, memberi insight dari semua informasi yang dia dapat dari internet dan teman. Karena pendidikan karakter pada akhirnya adalah tentang mendapatkan insight dari seluruh pengalaman hidup yang kita lalui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun