Pengangkatan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) telah menjadi isu penting dalam sistem pendidikan Indonesia. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah kelulusan Erlinda Alyanuari, seorang guru honorer muda asal Subang, dalam seleksi PPPK melalui jalur Ruang Talenta Guru (RTG). Kasus ini tidak hanya menyoroti keberhasilan seorang individu, tetapi juga menimbulkan berbagai kontroversi terkait transparansi dan keadilan dalam proses seleksi tersebut.
Latar Belakang Pengangkatan PPPK
PPPK merupakan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga pendidik, khususnya guru honorer. Program ini dirancang untuk memastikan bahwa tenaga pendidik memiliki status kepegawaian yang lebih jelas dan hak-hak yang setara dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Jalur Ruang Talenta Guru (RTG) merupakan salah satu mekanisme seleksi yang diperuntukkan bagi guru honorer yang telah memenuhi kriteria tertentu, termasuk masa kerja minimal dua tahun di institusi pendidikan formal.
Namun, dalam konteks pengangkatan Erlinda, muncul polemik karena ia baru lulus dari program S1 pada tahun 2023 dan memiliki pengalaman kerja sebagai guru honorer kurang dari dua tahun.
Perspektif Akademis: Transparansi dan Akuntabilitas dalam Seleksi PPPK
Proses seleksi PPPK seharusnya didasarkan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kesetaraan. Menurut teori Good Governance, kebijakan publik yang baik harus mencakup:
- Partisipasi: Semua calon peserta memiliki akses yang setara untuk mengikuti seleksi tanpa diskriminasi.
- Transparansi: Informasi tentang proses seleksi, kriteria kelulusan, dan mekanisme evaluasi harus disampaikan secara terbuka.
- Akuntabilitas: Hasil seleksi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat melalui sistem verifikasi dan audit yang ketat.
Dalam kasus Erlinda, publik mempertanyakan apakah prinsip-prinsip ini telah diterapkan secara optimal. Ketiadaan informasi yang jelas tentang kualifikasi jalur RTG bagi peserta dengan pengalaman kerja kurang dari dua tahun menimbulkan persepsi negatif terhadap proses seleksi.
Reaksi Publik dan Implikasinya terhadap Kebijakan
Kontroversi yang muncul atas kelulusan Erlinda mencerminkan pentingnya kepercayaan publik terhadap sistem seleksi PPPK. Reaksi negatif dari sebagian masyarakat, seperti tuduhan adanya praktik nepotisme atau "orang dalam," dapat merusak legitimasi kebijakan pemerintah. Dalam perspektif kebijakan publik, hal ini menunjukkan perlunya evaluasi terhadap mekanisme seleksi untuk memastikan kredibilitas program.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H