Jika mendengar dengan istilah perundungan atau bullying pasti sudah tidak asing lagi di telinga. Perundungan sering berupa kekerasan dan dominasi pada korban oleh pelaku supaya pihak pelaku merasa lebih tinggi daripada korbannya. Tindakan perundungan sering dibahas di lingkungan sekolah, namun, sepertinya perundungan harus dibahas lagi di lingkungan lainnya seperti lingkungan universitas.
Jika merujuk pada salah satu berita yang disampaikan Nu Online dan DetikJateng, seorang mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), sebuah program studi Anestesi di Universitas Diponegoro (Undip) bernama Aulia Risma Lestari ditemukan tewas di kamar kosnya pada 12 Agustus 2024, terduga bunuh diri sebagai penyebab meninggal. Diduga bahwa dr. Aulia bunuh diri karena tekanan dari perundungan yang ia terima pada saat melaksanakan PPDS tersebut. Bunuh diri diduga dilakukan dengan menyuntikkan diri dengan Roculax (obat anestesi) yang berdosis tinggi ke tubuhnya (overdosis) karena ditemukannya satu ampul obat, suntikan, dan bekas suntikan pada tubuh korban dikutip dari detik.com. Dinyatakan bahwa tubuh korban ditemukan dalam kondisi membiru akibat overdosis.
Kasus ini semakin menyebar setelah ditemukannya buku harian korban di dalam ruangan kosnya. Ditemukannya tulisan-tulisan yang menceritakan keluhan-keluhannya mengenai tekanan yang dialaminya saat menjalani PPDS yakni perlakuan yang kurang manusiawi oleh seniornya. Perlakuan tersebut termasuk bekerja lebih dari 24 jam, korban diperlakukan seperti 'pembantu', dan sebagainya (NUonline). Faktanya, perundungan terjadi juga di dalam dunia medis, biasa dilakukan oleh para senior terhadap rendahannya. Di dalam kasus ini senior menyalahgunakan tempatnya yang lebih tinggi daripada junior untuk memperlakukan bawahannya seenaknya.
Menurut wawancara yang dilaksanakan oleh studio TvOneNews dengan wanita berinisial D yang merupakan teman dekat dari dr. Aulia. D menyatakan bahwa dr. Aulia mengalami saraf terjepit dan demikian merupakan tekanan yang paling menyiksa yang dialami korban. Jika korban mengalami saraf terjepit, apalagi ditambah dengan penekanan dari pekerjaan, PPDS, dan juga perundungan yang harus dialami korban. Selain itu, ditemukannya sebuah rekaman suara wanita yang diunggah oleh akun Instagram @abouthetic pada Selasa, 27 Agustus 2024 yang diduga sebagai rekaman suara milik mahasiswi PPDS yang mengeluhkan kondisinya kepada sang ayah sambil terisak-isak (detikJateng). "Enggak pa, tiap aku bangun tidur badannya sakit semua, pa -- punggungnya sakit, pa. Bangun pelan-pelan -- kalo gak pelan-pelan, ga bisa bangun. Aku aja tadi mau minum susah -- di bangsal minum enggak bisa -- terus akhirnya aku minta tolong CS (Customer Service), terus aku kasih uang 50 ribu -- aku minta nitip minum, karena aku enggak boleh ke minimarket -- enggak boleh ke kantin sama sekali, pa." ujar korban dalam rekaman suara tersebut. Rekaman tersebut mungkin hanya menceritakan sekilas dari apa yang dideritanya, namun cukup menunjukkan betapa frustrasinya korban terhadap beban yang harus dihadapinya.
Berkaitan dengan kasus, perundungan di kalangan PPDS merupakan hal yang masih sering membebani calon-calon dokter di beberapa PPDS Indonesia. NU Online mewawancarai seorang dokter muda yang satu almamater dengan korban. Dokter tersebut menyatakan bahwa beberapa PPDS Indonesia masih menerapkan senioritas kepada juniornya, demikian perundungan secara verbal dengan berkata kasar kepada bawahan, secara fisik dengan menambah beban tugas bawahan sehingga bawahan kurang tidur dan jarang pulang ke rumah, serta senior sering meminta dibelikan makanan menggunakan uang pribadi bawahan atau lebih parahnya lagi, angkatan dapat meminta dibelikan barang-barang mahal oleh bawahan. Dilihat dari deskripsi dokter tersebut, lingkungan universitas tidak lagi dapat dilihat sebagai universitas, melainkan sebuah tempat tawanan; di mana senior akan melecehkan kedaulatannya untuk kepentingannya sendiri. Hal ini adalah bentuk merendahkan martabat manusia dan tidak dapat disepelekan, perundungan yang berat di kalangan medis Indonesia dapat merendahkan kualitas manusia di Indonesia secara mental dan fisik serta mengotori nama Indonesia jika dibiarkan. Hal ini harus dihilangkan dari Indonesia. Untungnya, PPDS Undip ditutup untuk diselidiki dan masih di bawah investigasi Kemenkes dan organisasi lainnya hingga sekarang.
Jika disimpulkan, budaya senioritas marak terjadi di kalangan kedokteran. Jelas, budaya senioritas sama sekali terlihat tidak profesional karena tindakan tersebut bersifat mendominasi dan kurang adil. Universitas merupakan tempat untuk meningkatkan pendidikan, bukan untuk memanfaatkan pihak yang lebih rendah layaknya budaya preman di Indonesia. Menurut analisa WHO, Indonesia memiliki peringkat ke-91 di dalam peringkat negara paling sehat saat kini. Jika hal demikian terus berlanjut, bagaimana peringkat tenaga kerja kesehatan di Indonesia akan meningkat? Karena itu, Indonesia perlu mempertegas tiadanya penyalahgunaan jabatan dan perundungan di kalangan studi ataupun kerja.
Dokter yang diwawancarai sempat memberikan beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya perundungan di lingkungan Pendidikan kedokteran, yakni: kesadaran pribadi dari senior untuk menghentikan rantai perundungan terhadap juniornya, perguruan tinggi harus menyediakan layanan pengaduan yang berjalan dengan baik dan menjaga identitas pelapor, dan Kemenkes membuat peraturan perlakuan tegas dalam hal perundungan di lingkungan pendidikan sekolah.Â
Pemerintah harus mulai menaikkan tingkat ketegasan mereka mengenai perundungan di dalam lingkungan studi. Pertama, warga Indonesia perlu tahu mengenai apa itu perundungan dan dampaknya kepada korban maupun pelaku. Selain itu, perlu adanya perlakuan tegas kepada pelaku terutama jika pelaku tersebut dipercayai menduduki jabatan yang tinggi di dalam lingkungan studi maupun pekerjaan. Tidak perlu menunggu lebih banyak korban lagi untuk membangun kesadaran masyarakat, Indonesia harus menjadi negara yang adil dan bermoral; Indonesia tidak boleh kalah tertimbun permasalahan perundungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H