Ada satu pepatah yang mengawali seluruh cerita pada tulisan kali ini, "Wong Jawa wes ilang Jawane". Dalam bahasa Indonesia, pepatah ini berarti " Orang Jawa sudah hilang kejawaannya". Harus diakui, sebagai masyarakat Jawa, hal ini memang benar adanya.
Sebenarnya sisi kejawaan ini punya banyak aspek, mulai dari kesenian, tata krama, sejarah, hingga bahasa. Tulisan ini akan mencoba membahas dari sisi bahasa, mencoba menjawab pertanyaan mengapa bahasa Jawa menjadi terasingkan di daerahnya sendiri dan kenapa bahasa asing justru lebih digemari oleh anak muda masa kini.
Bahasa Jawa, Riwayatmu Kini
Saya tinggal di Yogyakarta yang notabene adalah daerah dengan kebudayaan Jawa yang masih tinggi. Mulai dari tutur kata yang terkenal sangat halus, adanya Keraton Jogja yang menjadi ikon kebudayaan Jawa, dan lain sebagainya. Â Â
Namun, belakangan ini saya pribadi juga melihat sudah mulai jarang anak muda yang dapat berbahasa Jawa dengan benar. Secara bahasa memang masih banyak yang menuturkan, tetapi dalam sub-sistem bahasa seperti Jawa Krama, pemudaran tampaknya sudah pelan-pelan menghampiri.
Penelitian dari Joseph Errington, seperti dilansir Kompas.com, menunjukkan bahwa memudarnya ragam Krama mulai terlihat sejak tahun 1998. Hal ini terjadi tidak hanya di daerah perkotaan, bahkan hingga ke pedesaan. Banyak orang tua yang mengajarkan anaknya bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari karena percaya bahwa bahasa Indonesia memberikan peluang yang lebih baik untuk masa depan mereka (Errington dalam Wibawa, 2018).
Ada sebuah artikel dari Radar Jogja yang membahas mengenai penggunaan bahasa Jawa di SD Negeri Bangunharjo, Bantul. Di sana, sebagian besar siswa tidak bisa membedakan jenis bahasa Jawa  ngoko dan krama. Mau membedakan saja sulit, apalagi mengaplikasikannya dalam percakapan sehari-hari.  (Radar Jogja, 2018)
Sekadar informasi, secara umum bahasa Jawa terbagi menjadi dua tingkatan bahasa yakni ngoko dan krama. Bahasa ngoko digunakan untuk pembicaraan dengan teman sejawat atau yang lebih muda, sementara bahasa krama digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau lebih tinggi jabatannya. Dalam kasus di SDN Bangunharjo, murid-murid berbicara dengan guru mereka menggunakan bahasa ngoko. Hal ini tidak sesuai dengan unggah-ungguh kebahasaan.Â
Bahasa Jawa Krama kini menjadi sebuah subkultur di masyarakat.Â
Komarovsky dan Sargeni dalam Wilujeng (2017), menjelaskan subkultur sebagai "varian kebudayaan yang ditampilkan oleh beberapa bagian dari populasi". Subkultur adalah kehidupan dalam suatu kebudayaan yang lebih besar yakni kebudayaan nasional.
Ada satu ciri khas lagi dari subkultur, yakni perlawanan pada budaya induk atau tantangan terhadap sebuah hegemoni kebudayaan (Hebdige dalam Wilujeng, 2017). Bahasa Jawa, terutama ragam krama sangat sesuai dengan definisi ini. Pertama, ia dituturkan oleh beberapa bagian dari populasi, yakni mereka yang masih memegang teguh budaya Jawa. Kedua, ia adalah bagian dari kebudayaan nasional Indonesia. Ketiga, penuturan bahasa Jawa, terutama ragam krama merupakan "perlawanan" (secara implisit) terhadap budaya induk, dalam hal ini adalah bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang posisinya makin kuat dewasa ini.
Bahasa Asing yang Kian Populer
Seperti yang sudah saya singgung di atas, jika ada subkultur pasti ada budaya populer. Â Dalam hal bahasa, apa yang termasuk dalam budaya populer di Indonesia? Jawabannya dua, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Saya tidak akan membahas dari sisi bahasa Indonesia karena ia merupakan bahasa nasional. Saya akan mencoba menguraikan bahasa Inggris yang kian lama kian populer di Indonesia dan mengalahkan eksistensi bahasa daerah. Namun sebelum itu, kiranya kita perlu tahu dulu apa itu budaya populer.
Budaya populer secara mudah didefinisikan sebagai budaya komersial yang banyak dikonsumsi massa (Storey dalam Istiqomah, 2020). Kata kuncinya adalah komersial dan banyak dikonsumsi massa.
Bahasa Inggris kini bisa dikatakan sebagai sebuah budaya populer dalam lingkup bahasa. Posisinya sebagai bahasa internasional membuat banyak orang di Indonesia berlomba-lomba untuk mempelajarinya. Kursus-kursus bahasa Inggris membludak baik secara daring maupun luring. Percakapan campuran antara bahasa Indonesia dan Inggris juga makin sering kita jumpai. Begitu pula dengan karya masyarakat Indonesia yang berbahasa Inggris.
Ancaman Nostalgia dan Upaya Konservasi Bahasa Jawa
Semakin populernya bahasa Inggris dan semakin terpinggirkannya bahasa Jawa membuat kita terancam terjebak pada nostalgia. Nostalgia tentang zaman di mana bahasa Jawa masih menjadi bahasa sehari-hari dengan aturan yang masih ditegakkan secara kuat. Kalau kita melihat prasasti atau kitab dari zaman kerajaan, banyak diantaranya yang menggunakan bahasa dan aksara Jawa.
Nostalgia memang indah, tapi zaman sudah berubah. Di era globalisasi saat ini di mana banyak negara yang juga kehilangan bahasa daerah, usaha yang dibutuhkan tentu berbeda. Strategi konservasi menjadi penting agar rasa memiliki generasi muda terhadap bahasa ibu mereka tetap terjaga.
Caranya, bisa dengan menggaet influencer atau public figure. Kepopuleran Didi Kempot beberapa waktu yang lalu menunjukkan bahwa gairah untuk melestarikan bahasa Jawa sejatinya masih ada, hanya perlu pancingan saja. Beruntung, saya ambil contoh dalam bidang musik, makin banyak penyanyi yang menggunakan bahasa Jawa seperti Denny Caknan, Via Vallen, Guyon Waton, dan lain sebagainya. Kepopuleran mereka secara tidak langsung mendongkrak popularitas bahasa Jawa di telinga masyarakat.
Saya sungguh berharap, bahasa Jawa tidak lagi sekadar nostalgia, tetapi tonggak untuk memopulerkan budaya Jawa ke kancah dunia.
Salam hangat
Referensi:
Istiqomah, Anissa. 2020. Ancaman Budaya Pop (Pop Culture) Terhadap Penguatan Identitas Nasional Masyarakat Urban. Jurnal Politik Walisongo 2(1):47-54.
Jogja, Radar. 2018. Bahasa Jawa di Lingkungan Sekolah Luntur. Diakses pada 23 Maret 2021
Wibawa, S.W. 2018. Millenial dan Bahasa Jawa Krama yang Dikhawatirkan Punah. Diakses pada 23 Maret 2021
Wilujeng,P.R. 2017. Girls Punk: Gerakan Perlawanan Subkultur di Bawah. Dialektika Masyarakat: Jurnal Sosiologi 1(1): 103-115.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H