Budaya Patriarki merupakan sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai yang diutamakan dalam banyak hal, misalnya laki-laki yang mengambil keputusan, yang memimpin, yang memegang kendali, yang diutamakan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan lebih baik. Intinya, budaya patriarki menempatkan laki-laki lebih mengistimewakan laki-laki daripada perempuan dalam berbagai hal. Budaya patriarki menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan dan mendominasi dalam sektor politik, ekonomi, otoritas moral, hak-hak sosial, dan kepemilikan properti (Halizah, 2023).
Budaya patriarki ini berdampak kepada timbulnya ketidaksetaraan gender. Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki pada posisi istimewa dan lebih diunggulkan membuat perempuan tersingkir dalam berbagai sektor, dimulai dari yang paling dekat, yaitu ranah keluarga sampai pada tingkat publik seperti sektor politik, ekonomi, dan pendidikan. Dalam masyarakat yang budaya patriarkinya masih mengakar kuat, dalam bidang keluarga, perempuan hanya bisa tunduk dan patuh saja pada laki-laki. Setiap keputusan penting yang diambil dalam keluarga biasanya diputuskan oleh laki-laki. Kepemilikan dalam keluarga biasanya diatasnamakan laki-laki dan setiap perubahan dalam kepemilikan tersebut harus seizin laki-laki. Dalam sektor keluarga, perempuan rentan mengalami ketidakadilan dalam beban kerja. Perempuan biasanya dituntut untuk bekerja di rumah mengurus rumah tangga, sementara laki-laki pergi bekerja. Namun walaupun hanya mengurus rumah, tingkat lelahnya sama saja dengan laki-laki yang bekerja di luar. Walaupun sudah lelah bekerja mengurus rumah, perempuan masih juga dituntut untuk mengurus suaminya ketika suami pulang bekerja. Masyarakat masih menganggap bahwa pekerjaan di rumah adalah pekerjaan yang mudah dan tidak melelahkan, sehingga perempuan masih bisa mengurus dan melayani suami setelah lelah bekerja mengurus rumah seharian. Di sektor publik, perempuan mengalami diskriminasi juga, misalnya dalam bidang pendidikan, politik dan ekonomi. Dalam bidang pendidikan, perempuan biasanya tidak diutamakan untuk melanjutkan pendidikan karena anggapan bahwa ujungnya akan mengurus rumah tangga. Di sektor politik, perempuan sering diremehkan tidak mampu bersaing dan bekerja dengan baik, sehingga persentase perempuan yang terjun ke bidang politik masih sedikit. Hal ini ujungnya berdampak pada kurang tersalurkannya aspirasi-aspirasi untuk kebijakan yang lebih pro dan berdampak baik pada kesejahteraan perempuan.
Walaupun menempatkan laki-laki sebagai yang utama dan banyak berdampak negatif pada perempuan, budaya patriarki juga menimbulkan dampak negatif pada laki-laki. Karena dianggap kelak akan menjadi pemimpin yang harus berani, tegas, dan kuat, laki-laki dibiasakan sejak kecil untuk memiliki sifat-sifat maskulin, misalnya harus tegas, kuat, berpikir rasional, tidak boleh menangis, tidak boleh terlihat lemah di hadapan orang lain, dan sebagainya. Padahal sekuat-kuatnya laki-laki tetaplah mempunyai perasaan ingin menangis, tidak selamanya kuat menghadapi berbagai tantangan. Perasaan-perasaan yang biasanya dikategorikan sebagai sifat feminim pun sebenarnya dimiliki oleh laki-laki karena laki-laki juga merupakan makhluk hidup, dan perasaan ini sebenarnya harus diakui, disalurkan, dan diredakan. Untuk mengakui dan meredakan perasaan tersebut, laki-laki memerlukan orang lain untuk membantunya bangkit dari berbagai perasaan tersebut. Selain itu, karena dituntut untuk menjadi pemimpin dalam keluarganya kelak, laki-laki dituntut untuk memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang baik, memiliki pendidikan yang baik, dan sebagainya. Hal ini tentunya bagus untuk perkembangan dirinya sendiri. Tetapi perlu juga dilihat bahwa ketika laki-laki tidak mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang baik, itu bukan sepenuhnya salahnya sendiri. Ada berbagai hal yang saling terkait, misalnya karena sistem yang akhirnya membuatnya sulit mendapat pekerjaan walaupun ia memenuhi syarat.
Pada akhirnya yang harus dilakukan adalah membiasakan budaya setara antara laki-laki dan perempuan. Budaya kesetaraan ini menempatkan laki-laki dan perempuan setara, bukan perempuan yang di belakang atau di bawah laki-laki, tetapi perempuan di samping laki-laki, menjadi pendamping yang berjalan bersama menuju tujuan baik yang sama, saling melengkapi dan melayani menggunakan kelebihan dan kekurangan yang sudah saling diterima masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H